Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab II pasal 2 disebutkan bahwa Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqqan ghaliidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Karena pernikahan itu ibadah maka berkaitan erat dengan segala syarat dan rukun yang merupakan salah satu kewajiban yang harus terpenuhi sebelum pelaksanaan akad nikah dan akan berjalan tertib dalam pelaksanaannya.
Pernikahan merupakan akad yang suci yang menghalalkan pergaulan suami isteri
dengan nama Allah. Saking pentingnya pernikahan Rasulullah SAW
mengingatkan umatnya dalam khutbah haji wada di Namira sebagaimana
sabdanya “Wahai manusia, berlaku baiklah terhadap isteri kalian mereka itu merupakan teman-teman yang akan membantu kalian, mereka tidak memiliki sesuatu untuk diri mereka, kalian telah mengambil mereka sebagai amanah Allah dan kehormatan mereka dihalalkan bagi kalian dengan nama Allah”. Dalam sebuah hadis lain Rasululah SAW bersabda “Nikah itu sunnah kami, siapa yang membenci sunnahku maka bukan dari golonganku”. Oleh karena itu akad nikah
merupakan suatu akad yang suci yang akan menghalakan kehormatan dengan
nama Allah, dengan tujuan ibadah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang sakinah mawadah dan rohmah.
Salah
satu persyaratan yang sering menjadi perbincangan masyarakat
akhir-akhir ini adalah batas usia pernikahan. Hal ini sering muncul
seiring dengan bermunculannya kasus-kasus yang menjadi sorotan media di
berbagai daerah, seperti pernikahan yang dilakukan oleh Syeh Puji
terhadap anak dibawah umur beberapa waktu yang lalu. Permasalahannya
adalah berapa batas usia pernikahan dalam undang-undang di Indonesia?
Untuk menjawabnya tentu kita perlu merujuk pada ketentuan perundangan
yang berkaitan dengan masalah tersebut.
Di dalam Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab 2 pasal 7 ayat 1 berbunyi “Perkawinan
hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun (sembilan
belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enambelas) tahun. Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah Bab IV pasal 8 “Apabila seorang calon sumi belum mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan seorang calon isteri belum mencapai umur 16 (enambelas) tahun, harus mendapat dispensasi dari pengadilan”. Pasal-pasal tersebut diatas sangat jelas sekali hampir tak ada alternatif penafsiran, bahwa usia yang diperbolehkan menikah di Indonesia untuk laki-laki 19 (sembilan belas) tahun dan untuk wanita 16 (enambelas) tahun. Namun itu saja belum cukup, dalam tataran implementasinya masih ada syarat yang harus ditempuh oleh calon pengantin (catin), yakni jika calon suami dan calon isteri belum genap berusia 21 (duapuluh satu) tahun maka harus ada ijin dari orang tua atau wali nikah, hal itu sesuai dengan Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 tentang Pencatatan nikah Bab IV pasal 7 “Apabila seorang calon mempelai belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun, harus mendapat ijin tertulis kedua orang tua”.
Ijin ini sipatnya wajib, karena usia itu dipandang masih memerlukan
bimbingan dan pengawasan orang tua/wali. Dalam format model N5 orang tua
/wali harus membubuhkan tanda tangan dan nama jelas, sehingga ijin
dijadikan dasar oleh PPN/ penghulu bahwa kedua mempelai sudah
mendapatkan ijin/restu orang tua mereka. Lain halnya jika kedua calon
pengantin sudah lebih dari 21 (dua puluhsatu) tahun, maka para catin
dapat melaksanakan pernikahan tanpa ada ijin dari orang tua/wali. Namun
untuk calon pengantin wanita ini akan jadi masalah karena orang tuanya
merupakan wali nasab sekaligus orang yang akan menikahkannya. Oleh
karena itu ijin dan doa restu orang tua tentu suatu hal yang sangat
penting karena akan berkaitan dengan salah satu rukun nikah yakni adanya wali nikah.
Dalam
khazanah ilmu fiqh ada sebagian para ulama tidak memberikan batasan
usia pernikahan, artinya berapapun usia catin tidak menghalangi sahnya
pernikahan, bahkan usia belum baligh sekalipun, hal inilah yang menjadi
dasar jaman dahulu ada yang disebut istilah kawin gantung. Namun mayoritas ulama di dunia Islam sepakat mencantumkan pembatasan usia nikah
sebagai dasar yang dipakai di negara masing-masing. Di bawah ini adalah
batas usia pernikahan di sebagian negara-negara muslim yang merupakan
hasil studi komperatif Tahir Mahmood dalam buku Personal law in Islamic Cauntries ( History, Text and Comparetive Analysis ) :
Negara
|
Pria
/tahun
|
Wanita
/tahun
|
Aljazair
|
21
|
18
|
Bangladesh
|
21
|
18
|
Indonesia
|
21
|
21
|
Tunisia
|
19
|
17
|
Mesir
|
18
|
16
|
Irak
|
18
|
18
|
Libanon
|
18
|
17
|
Libya
|
18
|
16
|
Malaysia
|
18
|
16
|
Maroko
|
18
|
16
|
Pakistan
|
18
|
16
|
Somalia
|
18
|
18
|
Yaman Selatan
|
18
|
16
|
Suriah
|
18
|
17
|
Turki
|
17
|
15
|
Jordania
|
16
|
15
|
Yaman Utara
|
15
|
15
|
Data diatas menunjukan bahwa dalam menentukan batas usia pernikahan, para ulama di negara muslim sepakat memberikan batasan pernikahan
setelah usia baligh, walaupun dalam rentang yang tidak sama dan
berpariasi, karena di dalam ilmu fiqh baligh jika dikaitkan dengan
ukuran usia berkisar laki-laki antara 15 ( lima belas ) tahun dan wanita
antara 9 (sembilan) tahun.
Permasalahan
selanjutnya adalah bagaimana jika laki-laki masih dibawah 19 tahun dan
wanita masih dibawah 16 tahun akan melaksanakan pernikahan?. Hal ini
bisa didorong karena berbagai hal antara lain: khawatir jina’, sudah
terlalu akrab, sudah tak bisa dipisahkan, sudah cukup, cakap dan mampu dari segi materi serta fisik atau bahkan sudah kecelakaan.
Undang-undang perkawinan No 1 tahun 1974 ternyata tidak kaku dan cukup memberikan ruang toleransi, hal ini bisa terlihat dari pasal 7 ayat (2) Dalam
hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi
kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua
pihak pria ataupun pihak wanita. Bagi umat Islam tentu orang tua/wali para catin harus mengajukan ijin dispensasi nikah kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah kabupaten didaerah catin tinggal. Setelah ijin keluar baru akad nikah
bisa dilaksanakan. Ijin tersebut akan dijadikan dasar oleh PPN/Penghulu
serta akan mencantumkannya dalam lembaran NB daftar pemeriksaan nikah poin II Calon Suami No 16 baris 33,34 dan poin III Calon Isteri No.16 baris 71,72. Dengan demikian pernikahan yang masih dibawah umur atas ijin pengadilan menjadi sah dan berkekuatan hukum.
Selanjutnya
dalam Undang-undang Republik Indonesia No 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan anak Bab I Ketentuan Umum pasal 1 ayat (1) anak adalah seseorang yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Ayat (2) Perlindungan
anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi,
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskrimninasi.
Jika
kita lihat sebagian pasal pada undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
diatas, tentu ada hal yang perlu di berikan elaborasi, terutama
menyangkut batasan anak dan batasan nikah, karena kedua ukuran tersebut
masih bisa menimbulkan perdebatan yang panjang. Disatu sisi ia masih
katagori anak-anak tapi disi lain dikatakan sudah cukup
untuk menikah. Hal ini menjadi penting untuk ditindak lanjuti terutama
oleh para pemangku kepentingan mungkin para akademisi, ulama, legislatip
atau siapapun di Republik ini. Karena orang tua/wali membutuhkan
kejelasan dan perlindungan hukum dalam membahagiakan anaknya, serta
PPN/Penghulu membutuhkan ketenangan dalam melaksanakan
tugas sebagai pelayanan prima kepada masyarakat, apalagi dalam
Undang-undang Perlindungan Anak Bab XII tercantum ketentuan pidana.
Tentu hal ini perlu pengkajian yang konprehensip, agar tidak menjadi media
bagi pihak lain yang berkepentingan untuk menyudutkan dan atau
menyalahkan pihak lainnya, yang pada gilirannya aturan itu bisa berjalan
seiring, sejalan, saling mengayomi, saling melengkapi dan tidak saling
bersinggungan. Semoga..
Posting Komentar