KANTOR KUA

DOKUMENTASI KUA KECAMATAN RAJADESA





















VISI, MISI DAN MOTTO KUA


STRUKTUR ORGANISASI


PETA LOKASI KECAMATAN RAJADESA KABUPATEN CIAMIS


MANUSIA DAN AGAMA


oleh Muhamad Shiroth, Imam Hartojo, dan Reza Nursadewo
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Depok, 1999
 
Manusia dan Alam Semesta
Dari sudut pandang manusia, yang ada adalah Allah Sang Pencipta dan alam semesta yang diciptakan Allah. Sebelum Allah menciptakan Adam sebagai manusia pertama, alam semesta telah diciptakan-Nya dengan tatanan kerja yang teratur, rapi, dan serasi. Keteraturan, kerapian, dan keserasian ini dapat dilihat dari dua kenyataan: Pertama,berupa keteraturan, kerapian, dan keserasian dalam hubungan alamiah antara bagian-bagian di dalamnya dengan pola saling melengkapi dan mendukung; Kedua, keteraturan yang ditugaskan kepada malaikat untuk menjaga dan melaksanakannya. Kedua hal itulah yang membuat berbagai keteraturan, kerapian, dan keserasian yang kita yakini sebagai Sunnatullah yakni ketentuan dan hukum yang ditetapkan Allah. Seperti pada matahari sebagai pusat dari sistem tata surya, berputar pada sumbunya dan memancarkan energinya kepada alam semesta secara teratur dan tetap.
Ada tiga sifat utama Sunnatullah yang disinggung dalam Al-Qur’an, yaitu: pasti, tetap, dan obyektif. Sifat yang pertama, yaitu pasti, tentu menjamin dan memberi kemudahan kepada manusia membuat rencana, sehingga dapat membuat perhitungan yang tepat menurut Sunnatullah:

"… Dia telah menciptakan sesuatu, dan Dia (pula yang) memastikan (menentukan) ukurannya dengan sangat rapi." (QS 25:2)
"… Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan (kepastian) bagi tiap sesuatu." (QS 65:3)
Sifat yang kedua adalah tetap, tidak berubah-ubah:

"… Tidak ada yang sanggup menggubah kalimat-kalimat Allah." (QS 6:115)
"… Dan engkau tidak akan menemui perubahan dalam Sunnah kami …" (QS 17:77)
Sifat yang ketiga adalah obyektif:
"…, bahwasanya dunia ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh." (QS 21:105) Demikianlah alam semesta diciptakan Allah dengan hukum-hukum yang berlaku baginya yang (kemudian) diserahkan-Nya kepada manusia untuk dikelola dan dimanfaatkan, sebagai khalifah. Untuk dapat menjalankan kedudukannya itu manusia diberi bekal berupa potensi seperti akal yang melahirkan berbagai ilmu sebagai alat untuk mengelola dan memanfaatkan alam semesta serta mengurus bumi ini.

"Dia telah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya …" (QS 2:31) Dengan akal dan ilmu yang dikuasainya, manusia akan mampu mengelola dan memanfaatkan alam semesta serta bumi ini untuk kepentingan manusia serta makhluk lain. Atas pelaksanaan amanat tersebut manusia akan dimintai pertanggungjawabannya di akherat apakah telah mengikuti dan mematuhi pola dan garis besar yang diberikan melalui para nabi dan rasul yang termuat dalam ajaran agama.
 
Manusia Menurut Agama Islam
Al-Qur’an tidak menggolongkan manusia ke dalam kelompok hewan selama manusia mempergunakan akal dan karunia Tuhan lainnya. Namun bila manusia tidak mempergunakan akal dan berbagai potensi pemberian Tuhan yang sangat tinggi nilainya seperti: pemikiran, kalbu, jiwa, raga, serta pancaindera secara baik dan benar, ia akan menurunkan derajatnya sendiri menjadi hewan:

"… Mereka (manusia) punya hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah), punya mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), punya telinga tetapi tidak mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka (manusia) yang seperti itu sama (martabatnya) dengan hewan bahkan lebih rendah (lagi) dari binatang." (QS 7:179) Di dalam Al-Qur’an manusia disebut antara lain dengan al-insan (QS 76:1), an-nas (QS 114:1), basyar (QS 18:110), bani adam (QS 17:70). Berdasarkan studi isi Al-Qur’an dan Al-Hadits, manusia (al-insan) adalah makhluk ciptaan Allah yang memiliki potensi untuk beriman kepada Allah dan dengan mempergunakan akalnya mampu memahami dan mengamalkan wahyu serta mengamati gejala-gejala alam, mempunyai rsa tanggung jawab atas segala perbuatannya dan berakhlak (N.A. Rasyid, 1983: 19). Berdasarkan rumusan tersebut, manusia mempunyai berbagai ciri sebagai berikut:
  1. Makhluk yang paling unik, dijadikan dalam bentuk yang sangat baik, ciptaan Tuhan yang paling sempurna.

    "Sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (QS 95:4)
  2. Manusia memiliki potensi (daya atau kemampuan yang mungkin dikembangkan) beriman kepada Allah.

    "… ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ " (QS 7:172)
  3. Manusia diciptakan Allah untuk mengabdi kepada-Nya.

    "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (QS 51:56)
  4. Manusia diciptakan Tuhan untuk menjadi khalifahnya di bumi.

    "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesunggunya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ … " (QS 2:30)
  5. Manusia dilengkapi akal, perasaan, dan kemauan atau kehendak.

    "Dan katakanlah: ‘kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.’ …" (QS 18:29}
  6. Manusia secara individual bertanggung jawab atas segala perbuatannya.

    "… Setiap orang (manusia) terikat (bertanggung jawab) terhadap apa yang dilakukannya." (QS 52:21)
  7. Manusia itu berakhlak.
Manusia menurut agama Islam, terdiri dari dua unsur, yaitu unsur materi berupa tubuh yang berasal dari tanah dan unsur immateri berupa roh yang berasal dari alam gaib. Al-Qur’an mengungkapkan proses penciptaan manusia:

"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal dari) tanah [12]. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim) [13]. Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan ia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci-lah Allah, Pencipta Yang Paling Baik [14]. Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah [7]. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani) [8]. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi Kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur [9]." (QS 23:12-14, 32:7-9) Sedangkan menurut hadits, Rasulullah bersabda:

"Sesungguhnya, setiap manusia dikumpulkan kejadiannya dalam perut ibunya selama empat puluh hari sebagai nuthfah (air mani), empat puluh hari sebagai ‘alaqah (segumpal darah), selama itu pula sebagai mudhghah (segumpal daging). Kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan roh ke dalam tubuh manusia, yang berada dalam rahim itu" (HR Bukhari dan Muslim) Ali Syari’ati – sejarawan dan ahli sosiologi Islam terkemuka – mengemukakan pendapatnya mengenai intrepretasi hakikat kejadian manusia. Manusia menpunyai dua dimensi: dimensi ketuhanan (kecendrungan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah) dan dimensi kerendahan atau kehinaan (lumpur mencerminkan keburukan-kehinaan). Karena itulah manusia dapat mencapai derajat yang tinggi namun dapat pula terperosok dalam lembah yang hina, yang manusia dibebaskan untuk memilihnya.
Ali Syari’ati memberikan makna tentang filsafat manusia:
  1. Manusia tidaklah sama (konsep hukum), tetapi bersaudara (asal kejadian).
  2. Manusia mempunyai persamaan antara pria dan wanita (sumber yang sama yakni dari Tuhan).
  3. Manusia mempunyai derajat yang lebih tinggi dari malaikat karena pengetahuan yang dimilikinya.
  4. Manusia memiliki fenomena dualistis: terdiri dari tanah dan roh Tuhan, yang terdapat kebebasan pada dirinya untuk memilih.
Atas kebebasan memilih tersebut, manusia bergerak dalam spektrum yang mengarah ke jalan Tuhan atau sebaliknya mengarah ke jalan setan. Manusia dengan akalnya sebagai suatu hidayah Allah kepada-Nya , memilih apakah ia akan terbenam dalam lumpur kehinaan atau menuju ke kutub mulia ke arah Tuhan. Dalam menentukan pilihan manusia memerlukan petunjuk yang benar yang terdapat dalam agama Allah yaitu agama Islam, yang menyeimbangkan antara dunia dan akherat.

"Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam …" (QS 3:19) Manusia sebagai makhluk Ilahi hidup dan kehidupannya berjalan melalui lima tahap: (1) alam gaib, (2) alam rahim, (3) alam dunia, (4) alam barzakh, dan (5) alam akherat. Dari kelima tahapan kehidupan manusia itu, tahap kehidupan di dunia merupakan tahap yang menentukan tahap kehidupan selanjutnya, sehingga manusia dikaruniai Allah dengan berbagai alat perlengkapan dan bekal agar dapat menjalankan tugas sebagai khalifah di bumi, serta pedoman agar selamat sejahtera di dunia dalam perjalanannya menuju tempatnya yang kekal di akherat nanti. Pedoman itu adalah agama.
Sesunguhnya manusia diciptakan Allah untuk beribadah kepada-Nya. Apa arti ibadah? Apakah secara ritual menyembah Allah, shalat lima waktu, puasa, zakat, dan berhaji saja? Bila memang itu maknanya, lalu bagaimana dengan usaha mempertahankan hidup? Apakah hanya dengan shalat maka hidangan akan disediakan Allah begitu saja? Tentu tidak, kita sebagai manusia harus berusaha memperoleh makan dan minum. Sebagai manusia kita harus bekerja untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup. Bila ibadah hanya diartikan sebatas pada ibadah ritual belaka dan tidak memasukkan bekerja sebagai suatu ibadah pula, maka merugilah manusia karena hanya sedikit dari waktunya untuk beribadah, bila dibandingkan ibadah dalam artian luas yang tidak terbatas pada ibadah ritual belaka. Tujuan ibadah:

"Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertaqwa." (QS 2:21) Prof.DR. M. Mutawwali As-Sya’rani mengutarakan bahwa: manusia diberi sarana oleh-Nya, diberi bumi yang tunggal dan beribadah pada-Nya, Alah telah memberi kewajiban-kewajiban, karenanya Allah meminta hak agar manusia beribadah kepada-Nya dengan tujuan agar manusia dapat terhindar dari soal-soal buruk yang merugikan di dunia.
 
Agama: Arti dan Ruang Lingkupnya
Sesuai dengan asal muasal katanya (sansekerta: agama,igama, dan ugama) maka makna agama dapat diutarakan sebagai berikut: agama artinya peraturan, tata cara, upacara hubungan manusia dengan raja; igama artinya peraturan, tata cara, upacara hubungan dengan dewa-dewa; ugama artinya peraturan, tata cara, hubungan antar manusia; yang merupakan perubahan arti pergi menjadi jalan yang juga terdapat dalam pengertian agama lainnya. Bagi orang Eropa, religion hanyalah mengatur hubungan tetap (vertikal) anatar manusia dengan Tuhan saja. Menurut ajaran Islam, istilah din yang tercantum dalam Al-Qur’an mengandung pengertian hubungan manusia dengan Tuhan (vertikal) dan hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat termasuk dirinya sendiri, dan alam lingkungan hidupnya (horisontal).

"… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah kuridhai Islam itu jadi agama(din) bagimu …" (QS 5:3)
"Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia …" (QS 3:112)
Persamaan istilah agama tidak dapat dijadikan alasan untuk menyebutkan bahwa semua agama adalah sama, karena adanya perbedaan makna atas istilah agama tersebut, yang berbeda atas sistem, ruang lingkupnya, dan klasifikasinya.
Karena agama merupakan kepentingan mutlak setiap orang dan setiap orang terlibat dengan agama yang dipeluknya maka tidaklah mudah untuk membuat suatu defenisi yang mencakup semua agama, namun secara umum dapat didefenisikan sebagai berikut: agama adalah kepercayaan kepada Tuhan yang dinyatakan dengan mengadakan hubungan dengan-Nya melalui upacara, penyembahan dan permohonan, dan membentuk sikap hidup manusia menurut atau berdasarkan ajaran agama itu.
 
Hubungan Manusia dengan Agama
Tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah sebagai pencipta alam semesta. Allah sendiri yang mencipta dan memerintahkan ciptaan-Nya untuk beribadah kepada-Nya, juga menurunkan panduan agar dapat beribadah dengan benar. Panduan tersebut diturunkan Allah melalui nabi-nabi dan rasul-rasul-Nya, dari Adam AS hingga Muhammad SAW. Nabi-nabi dan rasul-rasul tersebut hanya menerima Allah sebagai Tuhan mereka dan Islam sebagai panduan kehidupan mereka. Beribadah diartikan secara luas meliputi seluruh hal dalam kehidupan yang ditujukan hanya kepada Allah. Kita meyakini bahwa hanya Islamlah panduan bagi manusia menuju kebahagiaan dunia dan akherat. Islam telah mengatur berbagai perihal dalam kehidupan manusia. Islam merupakan sistem hidup, bukan sekedar agama yang mengatur ibadah ritual belaka.
Sayangnya, pada saat ini, kebanyakan kaum muslim tidak memahami hal ini. Mereka memahami ajaran Islam sebagaimana para penganut agama lain memahami ajaran agama mereka masing-masing, yakni bahwa ajaran agama hanya berlaku di tempat-tempat ibadah dan dilaksanakan secara ritual, tanpa ada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut biasanya disebabkan karena dua hal: Pertama, terjadinya gerakan pembaruan di Eropa yang fikenal sebagai Renaissance dan Humanisme, sebagai reaksi masyarakat yang dikekang oleh kaum gereja pada masa abad pertengahan atau Dark Ages, kaum gereja mendirikan mahkamah inkuisisi yang digunakan untuk menghabisi para ilmuwan, cendikiawan, serta pembaharu. Setelah itu, pada masa Renaissance, masyarakat menilai bahwa Tuhan hanya berkuasa di gereja , sedangkan di luar itu masyarakat dan rajalah yang berkuasa. Paham dikotomis ini kemudian dibawa ke Asia melalui penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa; Kedua, masih adanya ulama-ulama yang jumud, kaku dalam menerapkan syariat-syariat Islam, tidak dapat atau tidak mau mengikuti perkembangan jaman. Padahal selama tidak melanggar Al-Qur’an dan Hadits, ajaran-ajaran Islam adalah luwes dan dapat selalu mengikuti perkembangan zaman. Akibat kejumudan tersebut, banyak kalangan masyrakat yang merasa takut atau kesulitan dalam menerapkan syariat-syariat Islam dan menilainya tidak aplikatif. Ini membuat masyarakat semakin jauh dari syariat Islam.
Paham dikotomis melalui sekularisme tersebut antara lain dipengaruhi terutama oleh pemikiran August Comte melalui bukunya Course de la Philosophie Positive (1842) mengemukakan bahwa sepanjang sejarah pemikiran manusia berkembang melalui tiga tahap: (1) tahap teologik, (2) tahap metafisik, dan (3) tahap positif; pemikiran tersebut melahirkan filsafat positivisme yang mempengaruhi ilmu pengetahuan sosial dan humaniora, melalui sekularisme. Namun teori tersebut tidaklah benar, sebab perkembangan pemikiran manusia tidaklah demikian, seperti pada zaman modern ini (tahap ketiga), manusia masih tetap percaya pada Tuhan dan metafisika, bahkan kembali kepada spiritualisme.
Sejarah umat manusia di barat menunjukkan bahwa dengan mengenyampingkan agama dan mengutamakan ilmu dan akal manusia semata-mata telah membawa krisis dan malapetaka. Atas pengalamannya tersebut, kini perhatian manusia kembali kepada agama, karena: (1) Ilmuwan yang selama ini meninggalkan agama, kembali pada agama sebagai pegangan hidup yang sesungguhnya, dan (2) harapan manusia pada otak manusia untuk memecahkan segala masalah di masa lalu tidak terwujud.
Kemajuan ilmu pengetahuan telah membawa manusia pada tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi, namun dampak negatifnya juga cukup besar berpengaruh pada kehidupan manusia secara keseluruhan. Sehingga untuk dapat mengendalikan hal tersebut diperlukan agama, untuk diarahkan untuk keselamatan dan kebahagiaan umat manusia.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa agama sangat diperlukan oleh manusia sebagai pegangan hidup sehingga ilmu dapat menjadi lebih bermakna, yang dalam hal ini adalah Islam. Agama Islam adalah agama yang selalu mendorong manusia untuk mempergunakan akalnya memahami ayat-ayat kauniyah (Sunnatullah) yang terbentang di alam semesta dan ayat-ayat qur’aniyah yang terdapat dalam Al-Qur’an, menyeimbangkan antara dunia dan akherat. Dengan ilmu kehidupan manusia akan bermutu, dengan agama kehidupan manusia akan lebih bermakna, dengan ilmu dan agama kehidupan manusia akan sempurna dan bahagia.
 
Referensi
Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Al-Qardhawy, Yusuf. Fiqih Daulah dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Ali, Mohammad Daud. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998.

PERATURAN BATAS USIA PERNIKAHAN DALAM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA





Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab II pasal 2 disebutkan bahwa Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqqan ghaliidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Karena pernikahan itu ibadah maka berkaitan erat dengan segala syarat dan rukun yang merupakan salah satu kewajiban yang harus terpenuhi sebelum pelaksanaan akad nikah dan akan berjalan tertib dalam pelaksanaannya.
Pernikahan merupakan akad yang suci yang menghalalkan pergaulan suami isteri dengan nama Allah. Saking pentingnya pernikahan Rasulullah SAW mengingatkan umatnya dalam khutbah haji wada di Namira sebagaimana sabdanya “Wahai manusia, berlaku baiklah terhadap isteri kalian mereka itu merupakan teman-teman yang akan membantu kalian, mereka tidak memiliki sesuatu untuk diri mereka, kalian telah mengambil mereka sebagai amanah Allah dan kehormatan mereka dihalalkan bagi kalian dengan nama Allah”. Dalam sebuah hadis lain Rasululah SAW bersabda  Nikah itu sunnah kami, siapa yang membenci sunnahku maka bukan dari golonganku”. Oleh karena itu akad nikah merupakan suatu akad yang suci yang akan menghalakan kehormatan dengan nama Allah, dengan tujuan ibadah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawadah dan rohmah.
Salah satu persyaratan yang sering menjadi perbincangan masyarakat akhir-akhir ini adalah batas usia pernikahan. Hal ini sering muncul seiring dengan bermunculannya kasus-kasus yang menjadi sorotan media di berbagai daerah, seperti pernikahan yang dilakukan oleh Syeh Puji terhadap anak dibawah umur beberapa waktu yang lalu. Permasalahannya adalah berapa batas usia pernikahan dalam undang-undang di Indonesia? Untuk menjawabnya tentu kita perlu merujuk pada ketentuan perundangan yang berkaitan dengan masalah tersebut.
            Di dalam Undang-undang No 1 tahun 1974  tentang Perkawinan Bab 2 pasal 7 ayat 1 berbunyi “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur  16 (enambelas) tahun. Selanjutnya dalam  Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah Bab IV pasal 8 “Apabila seorang calon sumi belum mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan seorang calon isteri belum mencapai umur 16 (enambelas) tahun, harus mendapat dispensasi dari pengadilan”. Pasal-pasal tersebut diatas sangat jelas sekali hampir tak ada alternatif penafsiran, bahwa usia yang diperbolehkan menikah di Indonesia untuk laki-laki 19 (sembilan belas)  tahun dan untuk wanita 16 (enambelas) tahun. Namun itu saja belum cukup, dalam tataran implementasinya  masih ada syarat yang harus ditempuh oleh calon pengantin (catin), yakni jika calon suami dan calon isteri belum genap berusia 21 (duapuluh satu) tahun maka harus ada ijin dari orang tua atau wali nikah, hal  itu sesuai dengan Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 tentang Pencatatan nikah Bab IV pasal 7 “Apabila seorang calon mempelai belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun, harus mendapat ijin tertulis kedua orang tua”. Ijin ini sipatnya wajib, karena usia itu dipandang masih memerlukan bimbingan dan pengawasan orang tua/wali. Dalam format model N5 orang tua /wali harus membubuhkan tanda tangan dan nama jelas, sehingga ijin dijadikan dasar oleh PPN/ penghulu bahwa kedua mempelai sudah mendapatkan ijin/restu orang tua mereka. Lain halnya jika kedua calon pengantin sudah lebih dari 21 (dua puluhsatu) tahun, maka para catin dapat melaksanakan pernikahan tanpa ada ijin dari orang tua/wali. Namun untuk calon pengantin wanita ini akan jadi masalah karena orang tuanya merupakan wali nasab sekaligus orang yang akan menikahkannya. Oleh karena itu ijin dan doa restu orang tua tentu suatu hal yang sangat penting karena akan berkaitan dengan salah satu rukun nikah yakni adanya wali nikah.
Dalam khazanah ilmu fiqh ada sebagian para ulama tidak memberikan batasan usia pernikahan, artinya berapapun usia catin tidak menghalangi sahnya pernikahan, bahkan usia belum baligh sekalipun, hal inilah yang menjadi dasar jaman dahulu ada yang disebut istilah kawin gantung. Namun mayoritas ulama di dunia Islam sepakat mencantumkan pembatasan usia nikah sebagai dasar yang dipakai di negara masing-masing. Di bawah ini adalah batas usia pernikahan di sebagian negara-negara muslim yang merupakan hasil studi komperatif Tahir Mahmood dalam buku Personal law in Islamic Cauntries ( History, Text and Comparetive Analysis ) :
Negara
Pria
/tahun
Wanita
/tahun
Aljazair
21
18
Bangladesh
21
18
Indonesia
21
21
Tunisia
19
17
Mesir
18
16
Irak
18
18
Libanon
18
17
Libya
18
16
Malaysia
18
16
Maroko
18
16
Pakistan
18
16
Somalia
18
18
Yaman Selatan
18
16
Suriah
18
17
Turki
17
15
Jordania
16
15
Yaman Utara
15
15

Data diatas menunjukan bahwa dalam menentukan batas usia pernikahan, para ulama di negara muslim  sepakat memberikan batasan  pernikahan setelah usia baligh, walaupun dalam rentang yang tidak sama dan berpariasi, karena di dalam ilmu fiqh baligh jika dikaitkan dengan ukuran usia berkisar laki-laki antara 15 ( lima belas ) tahun dan wanita antara 9 (sembilan) tahun.
Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana jika laki-laki masih dibawah 19 tahun dan wanita masih dibawah 16 tahun akan melaksanakan pernikahan?. Hal ini bisa didorong karena berbagai hal antara lain: khawatir jina’, sudah terlalu akrab, sudah tak bisa dipisahkan, sudah   cukup, cakap dan mampu dari segi materi serta fisik atau bahkan sudah kecelakaan.
Undang-undang perkawinan No 1 tahun 1974 ternyata tidak kaku dan cukup memberikan ruang toleransi, hal ini bisa terlihat dari  pasal 7 ayat (2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria ataupun pihak wanita. Bagi umat Islam tentu orang tua/wali  para catin harus mengajukan ijin dispensasi nikah kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah kabupaten didaerah catin tinggal. Setelah ijin keluar baru akad nikah bisa dilaksanakan. Ijin tersebut akan dijadikan dasar oleh PPN/Penghulu serta akan mencantumkannya dalam lembaran NB daftar pemeriksaan nikah poin II Calon Suami No 16 baris 33,34 dan poin III Calon Isteri No.16 baris 71,72. Dengan demikian pernikahan yang masih dibawah umur atas ijin pengadilan  menjadi sah dan berkekuatan hukum.
            Selanjutnya dalam Undang-undang Republik Indonesia No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak Bab I Ketentuan Umum pasal 1 ayat (1) anak adalah seseorang yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Ayat (2) Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskrimninasi.
Jika kita lihat sebagian pasal pada undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak diatas, tentu ada hal yang perlu di berikan elaborasi, terutama menyangkut batasan anak dan batasan nikah, karena kedua ukuran tersebut masih bisa menimbulkan perdebatan yang panjang. Disatu sisi ia masih katagori anak-anak tapi disi lain  dikatakan sudah cukup untuk menikah. Hal ini menjadi penting untuk ditindak lanjuti terutama oleh para pemangku kepentingan mungkin para akademisi, ulama, legislatip atau siapapun di Republik ini. Karena orang tua/wali membutuhkan kejelasan dan perlindungan hukum dalam membahagiakan anaknya, serta PPN/Penghulu membutuhkan  ketenangan dalam melaksanakan tugas sebagai pelayanan prima kepada masyarakat, apalagi dalam Undang-undang Perlindungan Anak Bab XII tercantum ketentuan pidana. Tentu hal ini perlu pengkajian yang konprehensip, agar  tidak menjadi media bagi pihak lain yang berkepentingan untuk menyudutkan dan atau menyalahkan pihak lainnya, yang pada gilirannya aturan itu bisa berjalan seiring, sejalan, saling mengayomi, saling melengkapi dan tidak saling bersinggungan. Semoga..

Hukum Nikah Tanpa Wali, Sahkah ?

Salah satu fenomena yang terjadi dewasa ini adalah maraknya pernikahan ‘jalan pintas’ ( nikah sirri ) dimana seorang wanita yang telah dewasa manakala tidak mendapatkan restu dari kedua orangtuanya atau merasa bahwa orangtuanya tidak akan merestuinya; maka dia lebih memilih untuk menikah tanpa walinya tersebut dan berpindah tangan kepada para penghulu bahkan kepada orang ‘yang diangkat’ nya sendiri sebagai walinya. Hal ini dilakukan dalam rangka upaya untuk menghindari perzinaan.
Keberadaan wali dalam suatu pernikahan merupakan perkara khilafiyah ( berbeda pendapat ) dikalangan para ulama mazhab, artinya seorang muslim boleh dan tidak tercela mengambil atau berpegang kepada salah satu dari dua pendapat tersebut tanpa saling menyalahkan, tentunya dengan landasan ilmu dan pemahaman bukan sekedar ikut-ikutan ;
1. Jumhur (mayoritas-kebanyakan) ulama mazhab menyatakan bahwa wali dalam pernikahan adalah rukun nikah. Artinya tidak sah nikah tanpa wali. Berdasarkan beberapa hadits ; Dari Abu Burdah, dari Abu Musa dari ayahnya –radliyallâhu ‘anhuma-, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan wali.” Dalam hadits lain ; Dari ‘Imran bin al-Hushain secara marfu’ : “Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi.” Dan dari ‘Aisyah radliyallâhu ‘anha, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Siapa saja wanita yang menikah tanpa idzin walinya, maka pernikahannya batil; jika dia (suami) sudah berhubungan badan dengannya, maka dia berhak mendapatkan mahar sebagai imbalan dari dihalalkannya farajnya; dan jika mereka berselisih, maka sultan (penguasa/hakim dan yang mewakilinya-red.,) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.”
Hadits pertama dari kajian ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan empat Imam hadits, pengarang kitab-kitab as-Sunan (an-Nasaiy, at-Turmudziy, Abu Daud dan Ibn Majah). Hadits tersebut dinilai shahîh oleh Ibn al-Madiniy dan at-Turmudziy serta Ibn Hibban yang menganggapnya memiliki ‘illat (cacat), yaitu al-Irsal (terputusnya mata rantai jalur transmisinya setelah seorang dari Tabi’in, seperti bila seorang Tab’iy berkata, “Rasulullah bersabda, demikian…”).
Hadits kedua dari kajian ini diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dari al-Hasan dari ‘Imran bin al-Hushain secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah). Menurut Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassam, kualitas hadits ini adalah Shahîh dan dikeluarkan oleh Abu Daud, at-Turmudziy, ath-Thahawiy, Ibn Hibban, ad-Daruquthniy, al-Hâkim, al-Baihaqiy dan selain mereka. Hadits ini juga dinilai shahîh oleh Ibn al-Madiniy, Ahmad, Ibn Ma’in, at-Turmudziy, adz-Dzuhliy, Ibn Hibban dan al-Hâkim serta disetujui oleh Imam adz-Dzahabiy.
Sedangkan hadits yang ketiga dari kajian ini, kualitasnya adalah Hasan. Hadits tersebut dikeluarkan oleh Imam Ahmad, asy-Syafi’iy, Abu Daud, at-Turmudziy, Ibn Majah, ad-Daruquthniy, al-Hâkim dan al-Baihaqiy serta selain mereka dari jalur yang banyak sekali melalui Ibn Juraij dari Sulaiman bin Musa dari az-Zuhriy dari ‘Urwah dari ‘Aisyah. Rijâl (Para periwayat dalam mata rantai periwayatan) tersebut semuanya Tsiqât dan termasuk Rijâl Imam Muslim.
2. Sebagian Ulama menyatakan bahwa wali tidak menjadi syarat atau rukun sebuah pernikahan. Artinya pernikahan dianggap sah walau tanpa wali apabila wanita yang akan menikah tersebut sudah dewasa ( janda atau perawan ). Dan Pendapat ini dipegang oleh Imam Abu Hanifah.
Al-Imam Muhammad ibn ‘Ali al-Shawkani dalam Nayl al-Awtar mengatakan bahwa hadits ini ( Larangan nikah tanpa wali ) tidak sunyi dari pertikaian yaitu dari segi bersambung atau terputus sanad.
Dua orang ulama besar dalam ilmu hadits yaitu Sufyan al-Thawri dan Shu`bah ibn al-Hajjaj mengatakan hadith ini mursal. Terdapat seorang perawi bernama Abu Ishaq al-Hamdani seorang yang thiqah tetapi mudallis seperti yang disebut oleh Ibn Hibban dalam al-Thiqat. Dalam riwayat al-Bayhaqi semua perawinya adalah thiqah tetapi hanya mawquf pada Abu Hurayrah.
Dalam riwayat Ahmad ibn Hanbal, Ibn Majah dan al-Tabarani terdapat seorang perawi bernama al-Hajjaj ibn Arta’ah seorang daif dan mudallis. Ibn Hanbl berkat hamper semua riwaytanya mempunyai ziyadah, Ibn al-Madini meninggalkannya. Abu Htaim al-Razi berkata beliau saduq tetapi yudallis dari du`afa’.
Lantaran itu, al-Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa wali tidak diambil secara mutlak dan tidak perlu keizinan wali berdasarkan hadits sahih yang artinya, “Wanita yang tidak bersuami itu (al-ayyim) lebih berhak terhadap dirinya dari walinya.” Riwayat al-Jama`ah kecuali al-Bukhari. Yakni dengan syarat ia mengawinkan dirinya dengan lelaki yg sekufu.
Abu Hanifah menangggap zahir nas al-Quran itu amat kuat dan tidak boleh ditakhsis atau ditafsil oleh hadith al-Ahad. Beliau hanya menerima hadith mutawatir atau mashhur yang tidak dipertikaikan. Abu Hanifah menolak hadith al-Zuhri di atas karena apabila al-Zuhri ditanya tentang hadits tersebut beliau tidak mengetahuinya dan menafikan bahwa beliau meriwayatkannya. Dalam sanad hadits riwayat Ibn Majah pula ada seorang pendusta bernama Jamil ibn Hasan al-‘Ataki.
Abu Hanifah dan al-Hanafiyyah juga berhujah dengan qiyas iaitu apabila wanita bebas dalam aqad jual beli dan urusan-urusan lain, maka mereka juga bebas tentang aqad perkawinan mereka. Ini karena tiada perbedaan antara satu aqad dengan aqad yang lain. Mereka juga mengqiyaskan wanita dengan lelaki dalam mewalikan diri sendiri setelah aqil baligh.
Al-Imam Malik ibn Anas
Malik ibn Anas membenarkan wanita yang tidak cantik, tidak berharta, tidak berketurunan mulia untuk nikah tanpa wali. Dawud al-Zahiri mengharuskan nikah tanpa wali bagi janda dan mensyaratkan wali bagi wanita perawan.
Al-Imam al-Shafii
Yunus ibn ‘Abd al-A`la mengatakan bahwa al-Imam al-Shafi`i sendiri mengatakan bahwa sekiranya seorang wanita dalam musafir dan ketiadaan wali, lalu ia tahkim yaitu menyerahkan perkawinannya kepada seorang lelaki, maka itu adalah harus (boleh). al-Nawawi menyokong perkara itu dengan syarat lelaki itu mesti adil. al-Nawawi mengatakan bahawa Yunus seorang yang thiqah.
Shaykh ‘Abd al-Rahman al-Jaziri seorang faqih terkemuka al-Azhar mengatakan bahawa kedua-dua bentuk pernikahan adalah sah, amat perlu dalam masyarakat Islam dan beliau menyokong hujah-hujah Hanafiyyah. Beliau berpendapat bahawa perkara ini menunjukkan kekekalan, kesyumulan dan kesesuaian Islam untuk menyelesaikan masalah masyarakat pada setiap masa dan tempat sehingga tidak ada seorang pun yang teraniaya. Kedua-dua pendapat adalah bagus, boleh diamalkan dan diterima akal. Menurut beliau, apabila aqad mengikut mazhab jumhur terhalang karena sesuatu sebab, umat Islam perlu menggunakan pendapat yang kedua (Pendapat Abu Hanifah) dan hal tersebut tidak tercela.
Mazhab al-Imam Abu Thawr dan al-Awza`i
Abu Thawr dan al-Awza`i mengatakan bahwa harus (boleh) bagi wanita muslimah mewalikan dirinya sendiri dengan izin walinya berpegang dengan mafhum hadits, “Mana-mana perempuan yang bernikah tanpa izin walinya…”. kesahihan aqad nikah oleh seseorang perawan atau janda adalah pendapat ‘Amir al-Sha`bi, Zufar, dan ulama Kufah. Mereka berpendapat wali bukan rukun sah nikah tapi hanya syarat tamam (kesempurnaan) nikah. Abu Yusuf, Muhammad ibn al-Hasan dan al-Awza`i mengatakan perkara ini sah dengan keizinan wali.
Hujah-hujah Mazhab al-Imam Abu Hanifah r.a.
1. Hadith wali dhaif (lemah)
al-Imam Abu Hanifah r.a. mengganggap hadiths wali ( larangan nikah tanpa wali) adalah dhaif (lemah) lalu tidak mewajibkan wali bagi seseorg muslimah baik perawan atau janda.
Al-Imam Muhammad ibn ‘Ali al-Shawkani dalam Nayl al-Awtar mengatakan bahawa hadits ini (larangan nikah tanpa wali) tidak sunyi dari pertikaian yaitu dari segi bersambung atau terputus sanad. Dua orang ulama besar dalam ilmu hadits yaitu Sufyan al-Thawri dan Shu`bah ibn al-Hajjaj mengatakan hadith ini mursal. Terdapat seorang perawi bernama Abu Ishaq al-Hamdani seorang yang thiqah tetapi mudallis seperti yang disebut oleh Ibn Hibban dalam al-Thiqat. Dalam riwayat al-Bayhaqi semua perawinya adalah thiqah tetapi hanya mawquf pada Abu Hurayrah.
Dalam riwayat Ahmad ibn Hanbal, Ibn Majah dan al-Tabarani terdapat seorang perawi bernama al-Hajjaj ibn Arta’ah seorang daif dan mudallis. Ibn Hanbal berkata hamper semua riwayatnya mempunyai ziyadah, Ibn al-Madini meninggalkannya. Abu Hatim al-Razi berkata beliau saduq tetapi mudallis dari du`afa’.
2. Hujah hadits sahih
Lantaran itu, al-Imam Abu Hanifah mengatakan bahawa wali tidak diambil secara mutlak (karena hadits – hadits wali tidak sahih) dan tidak perlu keizinan wali berdasarkan hadits sahih yang maknanya, “Wanita yang tidak bersuami itu (al-ayyim) lebih berhak terhadap dirinya dari walinya.” Riwayat al-Jama`ah kecuali al-Bukhari. Ayyim menurut bahasa ialah setiap wanita yg tidak bersuami baik ia perawan atau janda. Yakni dengan syarat ia mengawinkan dirinya dengan lelaki yang sekufu (sepadan).
Sekiranaya hadits-hadits wali adalah sahih, maka ia hanya khusus untuk wanita yg masih kecil belum baligh dan wanita gila. Adapun muslimah yg telah baligh ( dewasa) maka ia berhak mewalikan dirinya sendiri (haqq al-tasurruf). Beliau dan pengikutnya dari kalngan ulama hanfiyyah mentafsirkan hadits Tiada nikah melainkan dgn wali sebagai tidak sempurna nikah , bukan tidak sah nikah.
3. Zhahir ayat-ayat al-Quran
Al-Imam Abu Hanifah berhujah dgn zahir ayat2 al-Quran yg menyatakan perempuan itu menikahkan dirinya sendiri iaitu 230, 232 dan 234 surah al-Baqarah ;
230. kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.
232. apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.
234. orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
Abu Hanifah mengangggap zahir nas al-Quran itu amat kuat dan tidak boleh ditakhsis atau ditafsil oleh hadith al-Ahad. Beliau hanya menerima hadith mutawatir atau mashhur yang tidak dipertikaikan. Abu Hanifah menolak hadith al-Zuhri di atas karena apabila al-Zuhri ditanya tentang hadits tersebut beliau tidak mengetahuinya dan menafikan bahwa beliau meriwayatkannya. Dalam sanad hadith riwayat Ibn Majah pula ada seorang pendusta bernama Jamil ibn Hasan al-‘Ataki.
4. Hujah qiyas
Al-Imam Abu Hanifah dan Ulama al-Hanafiyyah juga berhujah dengan qiyas yaitu apabila wanita bebas dalam aqad jual beli dan aqad urusan-urusan lain, maka mereka juga bebas secara mutlak tentang aqad perkawinan mereka. Ini karena tiada perbedaan antara satu aqad dengan aqad yang lain. Mereka juga mengqiyaskan wanita dengan lelaki dalam mewalikan diri sendiri setelah aqil baligh. Menghalang wanita yg baligh dan aqil mengahwinkan diriny dgn mana2 lelkai yg sekufu adalah bersalaagn dgn prinsip2 Islam yg asas (qawa`id al-Islam al-‘ammah).
Al-Hafiz Ibn Abi Shaybah meriwayatkan dengan dua sanad yang sahih dari Zuhri dan Sha’bi tentang nikah tanpa wali, keduanya berkata, Sekiranya dengan lelaki sekufu ia adalah harus (sah).
Al-Imam Abu Thawr dan al-Awza`i mengatakan bahwa harus (boleh) bagi wanita muslimah mewalikan dirinya sendiri dengan izin walinya berpegang dengan mafhum (pemahaman) hadits, “Mana-mana perempuan yang bernikah tanpa izin walinya…”
kesahihan aqad nikah oleh seseorang perawan atau janda adalah pendapat ‘Amir al-Sha`bi, Zufar, dan ulama Kufah. Mereka berpendapat wali bukan rukun sah nikah tapi hanya syarat tamam (kesempurnaan) nikah. Abu Yusuf, Muhammad ibn al-Hasan dan al-Awza`i mengatakan perkara ini sah dengan keizinan wali.
NIKAH BERWALIKAN LELAKI SHALIH
Al-Imam Ibn Sirin
Al-Hafiz Ibn Hazm berkata telah sabit riwayatnya yang sahih dari Ibn Sirin, bahwa perempuan yang tidak mempunyai wali lalu menyerahkan kewaliannya kepada lelaki yang sholeh untuk mengaqadkannya maka ia adalah harus (sah). Berdasarkan ayat 55 dari al-Qur’an surah al-maidah ; Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).
Untuk sahnya pernikahan, para ulama telah merumuskan sekian banyak rukun dan atau syarat, yang mereka pahami dari ayat-ayat Al-Quran maupun hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. Adanya calon suami dan istri, wali, dua orang saksi, mahar serta terlaksananya ijab dan kabul merupakan rukun atau syarat yang rinciannya dapat berbeda antara seorang ulama/mazhab dengan mazhab 1ain; bukan di sini tempatnya untuk diuraikan.
Calon istri haruslah seorang yang tidak sedang terikat pernikahan dengan pria lain, atau tidak dalam keadaan ‘iddah (masa menunggu) baik karena wafat suaminya, atau dicerai, hamil, dan tentunya tidak pula termasuk mereka yang terlarang dinikahi, sebagaimana disebutkan di atas.
Abu Hanifah dan Abu Yusuf Berpendapat: “Sesungguhnya wanita yang sudah dewasa dan berakal sehat berhak mengurus sendiri `aqad pernikahannya, baik ia gadis maupun janda. Tetapi yang sebaiknya ia menguasakan `aqad nikahnya itu kepada walinya, demi menjaga pandangan yang kurang wajar, dari pihak pria asing, seandainya ia sendiri yang melangsungkan aqad nikahnya itu. Tetapi wali `ashib (ahli waris) tidaklah mempunyai hak untuk menghalang halanginya bila mana seorang wanita menikah dengan seorang pria dengan mahar yang kurang dari nilai mitsl (batas minimal).
Jika seorang wanita kawin dengan pria yang tidak sederajat tanpa persetujuan wali ‘ashibnya, menurut pendapat yang diriwayatkan dari Abu Hanifah dan Abu Y’usuf, pernikahan tersebut tidak sah. Pendapat ini cukup beralasan karena tidak setiap wali dapat mengadukan perkaranya kepada Hakim, dan tidak setiap Hakim dapat memutuskannya dengan adil.
Dalam keterangan lain disebutkan bahwa Abu Hanifah dan Abu Yusuf berpendapat Bahwa wali berhak menghalang-halangi perkawinan wanita dengan pria yang tidak sederajat dengan jalan permohonan kepada Pengadilan untuk membatalkannya. Dengan alasan untuk menjaga `aib yang kemungkinan timbul dari pihak suaminya selama belum melahirkan atau belum hamil. Jika ternyata sudah hamil atau melahirkan, maka gugurlah haknya untuk meminta pembatalan Pengadilan, demi menjaga kepentingan anak din memelihara kandungannya. Tetapi jika pihak prianya sederajat, sedangkan maharnya kurang dari mahar mitsl, dan jika wali mau menerima calon suami ini, maka perkawinannya boleh terus berlangsung. Sebaiknya, kalau ia menolak, yang bersangkutan boleh mengadu kepada Hakim untuk meminta pembatalan.
Seandainya dari pihak wanita tidak mempunyai wali `ashib (ahli waris) yaitu sama sekali tak mempunyai wali atau wali yang bukan wali `ashib, maka tak ada hak bagi seorangpun diantara mereka ini untuk menghalang-halangi aqad nikahnya, baik ia kawin dengan pria sederajat atau tidak, dengan mahar mitsl atau kurang. Sebab dalam keadaan demikian seluruh urusan dirinya menjadi tanggung jawabnya sendiri sepenuhnya. Seandainya tidak ada seorang wali yang merasa terkenal, karena perkawinannya dengan pria yang tidak sederajat itu dengan sendirinya mahar mitslnya menjadi gugur, sebab ia sudah terlepas dari wewenang wali-walinya.
Kesimpulannya ; Dalam Fikih Abu Hanifah terdapat Konsep Wali nikah (tidak wajib) yang kontradiktif dengan jumhur (kebanyakan) ulama fikih, yaitu “la yustararul waliyu fi sihhatin nikah al-balighah.” maksudnya adalah bolehnya nikah tanpa wali bagi wanita yang sudah dewasa (perawan atau janda), bahkan lebih lanjut dijelaskan bahwa seorang wanita dewasa boleh melakukan akad nikahnya sendiri tanpa perantara walinya. Adapun argumentasi yang diajukan oleh Abu Hanifah adalah:
1. Q.S. Al- Baqarah (2): 230; “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itutidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain….” Dan Q.S. Al- Baqarah (2): 234 yakni “…Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut…” Dalam ketiga ayat tersebut, akad dinisbahkan kepada perempuan, hal ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki hak melakukan pernikahan secara langsung (tanpa wali).
2. Perempuan bebas melakukan akad jual-beli dan akad-akad lainnya, karena itu ia bebas melakukan akad nikahnya. Karena tidak ada perbedaan hokum antara akad nikah dengan akad-akad lainnya.
3. Hadis-hadis yang mengaitkan sahnya perkawinan dengan ijin wali bersifat khusus, yaitu ketika sang perempuan yang akan menikahkan dirinya itu tidak memenuhi syarat untuk bertindak sendiri, misalnya karena masih belum dewasa atau tidak memiliki akal sehat. Hal ini berdasarkan Hadits Nabi Muhammad SAW : ”Orang-orang yang tidak mempunyai jodoh lebih berhak atas perkawinan dirinya daripada walinya, dan gadis itu dimintakan persetujuannya untuk dinikahkan dan tanda ijinnya ialah diamnya” (Hadits Bukhari Muslim).
Penutup
Dari dua pendapat, di atas mana yang benar? Tentunya seseorang tidak bisa mengklaim dan memvonis pendapat ini paling benar, atau pendapat itu salah (bathil). Sebab kesemuanya itu merupakan bentuk ijtihad ulama mazhab (Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal) dikalangan ahlussunnah wal jama’ah, yang kita boleh mengambil dan memilih mana yang cocok dan diyakini oleh kita. Sebab kebenaran mutlak hanya datangnya dari Allah dan Rasul-Nya saja. ( Wallahu A’lam bish-Showab)
*) tulisan ini diambil dari berbagai sumber oleh Alianoor H.Asmuni Basri (Penyuluh Agama Islam Fungsional Kandepag Barito Utara).

Nikah dan Hukum Nikah dalam Islam


Pernikahan atau nikah artinya adalah terkumpul dan menyatu. Menurut istilah lain juga dapat berarti Ijab Qobul (akad nikah) yang mengharuskan perhubungan antara sepasang manusia yang diucapkan oleh kata-kata yang ditujukan untuk melanjutkan ke pernikahan, sesusai peraturan yang diwajibkan oleh Islam[1]. Kata zawaj digunakan dalam al-Quran artinya adalah pasangan yang dalam penggunaannya pula juga dapat diartikan sebagai pernikahan, Allah s.w.t. menjadikan manusia itu saling berpasangan, menghalalkan pernikahan dan mengharamkan zina.

Hikmah Pernikahan

  • Cara yang halal dan suci untuk menyalurkan nafsu syahwat melalui ini selain lewat perzinahan, pelacuran, dan lain sebagainya yang dibenci Allah dan amat merugikan.
  • Untuk memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman
  • Memelihara kesucian diri
  • Melaksanakan tuntutan syariat
  • Membuat keturunan yang berguna bagi agama, bangsa dan negara.
  • Sebagai media pendidikan: Islam begitu teliti dalam menyediakan lingkungan yang sehat untuk membesarkan anak-anak. Anak-anak yang dibesarkan tanpa orangtua akan memudahkan untuk membuat sang anak terjerumus dalam kegiatan tidak bermoral. Oleh karena itu, institusi kekeluargaan yang direkomendasikan Islam terlihat tidak terlalu sulit serta sesuai sebagai petunjuk dan pedoman pada anak-anak
  • Mewujudkan kerjasama dan tanggungjawab
  • Dapat mengeratkan silaturahim

Pemilihan calon

Islam mensyaratkan beberapa ciri bagi calon suami dan calon isteri yang dituntut dalam Islam. Namun, ini hanyalah panduan dan tidak ada paksaan untuk mengikuti panduan-panduan ini.

Ciri-ciri bakal suami


Sekadar gambar hiasan: Sebuah acara pernikahan di Indonesian dan diadakan dengan budaya Jawa
  • beriman & bertaqwa kepada Allah s.w.t
  • bertanggungjawab terhadap semua benda
  • memiliki akhlak-akhlak yang terpuji
  • berilmu agama agar dapat membimbing calon isteri dan anak-anak ke jalan yang benar
  • tidak berpenyakit yang berat seperti gila, AIDS dan sebagainya
  • rajin bekerja untuk kebaikan rumahtangga seperti mencari rezeki yang halal untuk kebahagiaan keluarga.

Penyebab haramnya sebuah pernikahan

  • Perempuan yang diharamkan menikah oleh laki-laki disebabkan karena keturunannya (haram selamanya) serta dijelaskan dalam surah an-Nisa: Ayat 23 yang berbunyi, “Diharamkan kepada kamu menikahi ibumu, anakmu, saudaramu, anak saudara perempuan bagi saudara laki-laki, dan anak saudara perempuan bagi saudara perempuan.”:
    • Ibu
    • Nenek dari ibu maupun bapak
    • Anak perempuan & keturunannya
    • Saudara perempuan segaris atau satu bapak atau satu ibu
    • Anak perempuan kepada saudara lelaki mahupun perempuan, yaitu semua anak saudara perempuan

  • Perempuan yang diharamkan menikah oleh laki-laki disebabkan oleh susuan ialah:
    • Ibu susuan
    • Nenek dari saudara ibu susuan
    • Saudara perempuan susuan
    • Anak perempuan kepada saudara susuan laki-laki atau perempuan
    • Sepupu dari ibu susuan atau bapak susuan
  • Perempuan muhrim bagi laki-laki karena persemendaan ialah:
    • Ibu mertua
    • Ibu tiri
    • Nenek tiri
    • Menantu perempuan
    • Anak tiri perempuan dan keturunannya
    • Adik ipar perempuan dan keturunannya
    • Sepupu dari saudara istri
  • Anak saudara perempuan dari istri dan keturunannya

Peminangan

Pertunangan atau bertunang merupakan suatu ikatan janji pihak laki-laki dan perempuan untuk melangsungkan pernikahan mengikuti hari yang dipersetujui oleh kedua pihak. Meminang merupakan adat kebiasaan masyarakat Melayu yang telah dihalalkan oleh Islam. Peminangan juga merupakan awal proses pernikahan. Hukum peminangan adalah harus dan hendaknya bukan dari istri orang, bukan saudara sendiri, tidak dalam iddah, dan bukan tunangan orang. Pemberian seperti cincin kepada wanita semasa peminangan merupakan tanda ikatan pertunangan. Apabila terjadi ingkar janji yang disebabkan oleh sang laki-laki, pemberian tidak perlu dikembalikan dan jika disebabkan oleh wanita, maka hendaknya dikembalikan, namun persetujuan hendaknya dibuat semasa peminangan dilakukan. Melihat calon suami dan calon istri adalah sunat, karena tidak mau penyesalan terjadi setelah berumahtangga. Anggota yang diperbolehkan untuk dilihat untuk seorang wanita ialah wajah dan kedua tangannya saja.
Hadist Rasullullah mengenai kebenaran untuk melihat tunangan dan meminang:
"Abu Hurairah RA berkata,sabda Rasullullah SAW kepada seorang laki-laki yang hendak menikah dengan seorang perempuan: "Apakah kamu telah melihatnya?jawabnya tidak(kata lelaki itu kepada Rasullullah).Pergilah untuk melihatnya supaya pernikahan kamu terjamin kekekalan." (Hadis Riwayat Tarmizi dan Nasai)

Hadis Rasullullah mengenai larangan meminang wanita yang telah bertunangan:
"Daripada Ibnu Umar RA bahawa Rasullullah SAW telah bersabda: "Kamu tidak boleh meminang tunangan saudara kamu sehingga pada akhirnya dia membuat ketetapan untuk memutuskannya". (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim(Asy-Syaikhan))

Nikah

Rukun nikah

Syarat calon suami

  • Islam
  • Laki-laki yang tertentu
  • Bukan lelaki muhrim dengan calon istri
  • Mengetahui wali yang sebenarnya bagi akad nikah tersebut
  • Bukan dalam ihram haji atau umroh
  • Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
  • Tidak mempunyai empat orang istri yang sah dalam suatu waktu
  • Mengetahui bahwa perempuan yang hendak dinikahi adalah sah dijadikan istri

Syarat bakal istri

  • Islam
  • Perempuan yang tertentu
  • Bukan perempuan muhrim dengan calon suami
  • Bukan seorang banci
  • Akil Baligh
  • Bukan dalam ihram haji atau umroh
  • Tidak dalam iddah
  • Bukan istri orang

Syarat wali

  • Islam, bukan kafir dan murtad
  • Lelaki dan bukannya perempuan
  • Telah pubertas
  • Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
  • Bukan dalam ihram haji atau umroh
  • Tidak fasik
  • Tidak cacat akal pikiran, gila, terlalu tua dan sebagainya
  • Merdeka
  • Tidak dibatasi kebebasannya ketimbang membelanjakan hartanya
Sebaiknya calon istri perlu memastikan syarat WAJIB menjadi wali. Jika syarat-syarat wali terpenuhi seperti di atas maka sahlah sebuah pernikahan itu.Sebagai seorang mukmin yang sejati, kita hendaklah menitik beratkan hal-hal yag wajib seperti ini.Jika tidak, kita hanya akan dianggap hidup dalam berzinahan selamanya.

Jenis-jenis wali

  • Wali mujbir: Wali dari bapaknya sendiri atau kakek dari bapa yang mempunyai hak mewalikan pernikahan anak perempuannya atau cucu perempuannya dengan persetujuannya (sebaiknya perlu mendapatkan kerelaan calon istri yang hendak dinikahkan)
  • Wali aqrab: Wali terdekat yang telah memenuhi syarat yang layak dan berhak menjadi wali
  • Wali ab’ad: Wali yang sedikit mengikuti susunan yang layak menjadi wali, jikalau wali aqrab berkenaan tidak ada. Wali ab’ad ini akan digantikan oleh wali ab’ad lain dan begitulah seterusnya mengikut susunan tersebut jika tidak ada yang terdekat lagi.
  • Wali raja/hakim: Wali yang diberi hak atau ditunjuk oleh pemerintah atau pihak berkuasa pada negeri tersebut oleh orang yang telah dilantik menjalankan tugas ini dengan sebab-sebab tertentu

Syarat-syarat saksi

  • Sekurang-kurangya dua orang
  • Islam
  • Berakal
  • Telah pubertas
  • Laki-laki
  • Memahami isi lafal ijab dan qobul
  • Dapat mendengar, melihat dan berbicara
  • Adil (Tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak terlalu banyak melakukan dosa-dosa kecil)
  • Merdeka

Syarat ijab

  • Pernikahan nikah ini hendaklah tepat
  • Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran
  • Diucapkan oleh wali atau wakilnya
  • Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah(nikah kontrak atau pernikahan (ikatan suami istri) yang sah dalam tempo tertentu seperti yang dijanjikan dalam persetujuan nikah muataah)
  • Tidak secara taklik(tidak ada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafalkan)
Contoh bacaan Ijab:Wali/wakil Wali berkata kepada calon suami:"Aku nikahkan Anda dengan Diana Binti Daniel dengan mas kawin berupa seperangkap alat salat dibayar tunai".

Syarat qobul

  • Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab
  • Tidak ada perkataan sindiran
  • Dilafalkan oleh calon suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu)
  • Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah(seperti nikah kontrak)
  • Tidak secara taklik(tidak ada sebutan prasyarat sewaktu qobul dilafalkan)
  • Menyebut nama calon istri
  • Tidak ditambahkan dengan perkataan lain
Contoh sebutan qabul(akan dilafazkan oleh bakal suami):"Aku terima nikahnya dengan Diana Binti Daniel dengan mas kawin berupa seperangkap alat salat dibayar tunai" ATAU "Aku terima Diana Binti Daniel sebagai istriku".

Setelah qobul dilafalkan Wali/wakil Wali akan mendapatkan kesaksian dari para hadirin khususnya dari dua orang saksi pernikahan dengan cara meminta saksi mengatakan lafal "SAH" atau perkataan lain yang sama maksudya dengan perkataan itu.
Selanjutnya Wali/wakil Wali akan membaca doa selamat agar pernikahan suami istri itu kekal dan bahagia sepanjang kehidupan mereka serta doa itu akan diAminkan oleh para hadirin
Bersamaan itu pula, mas kawin/mahar akan diserahkan kepada pihak istri dan selanjutnya berupa cincin akan dipakaikan kepada jari cincin istri oleh suami sebagai tanda dimulainya ikatan kekeluargaan atau simbol pertalian kebahagian suami istri.Aktivitas ini diteruskan dengan suami mencium istri.Aktivitas ini disebut sebagai "Pembatalan Wudhu".Ini karena sebelum akad nikah dijalankan suami dan isteri itu diminta untuk berwudhu terlebih dahulu.
Suami istri juga diminta untuk salat sunat nikah sebagai tanda syukur setelah pernikahan berlangsung. Pernikahan Islam yang memang amat mudah karena ia tidak perlu mengambil masa yang lama dan memerlukan banyak aset-aset pernikahan disamping mas kawin,hantaran atau majelis umum (walimatul urus)yang tidak perlu dibebankan atau dibuang.

Wakil Wali/ Qadi

Wakil wali/Qadi adalah orang yang dipertanggungjawabkan oleh institusi Masjid atau jabatan/pusat Islam untuk menerima tuntutan para Wali untuk menikahkan/mengahwinkan bakal istri dengan bakal suami.Segala urusan pernikahan,penyediaan aset pernikahan seperti mas kawin,barangan hantaran(hadiah),penyedian tempat pernikahan,jamuan makan kepada para hadirin dan lainnya adalah tanggungjawab pihak suami istri itu. Qadi hanya perlu memastikan aset-aset itu telah disediakan supaya urusan pernikahan berjalan lancar.Disamping tanggungjawabnya menikahi suami istri berjalan dengan sempurna,Qadi perlu menyempurnakan dokumen-dokumen berkaitan pernikahan seperti sertifikat pernikahan dan pengesahan suami istri di pihak tertinggi seperti mentri agama dan administratif negara.Untuk memastikan status resmi suami isteri itu sentiasa sulit dan terpelihara.Qadi selalunya dilantik dari kalangan orang-orang alim(yang mempunyai pengetahuan dalam agama Islam dengan luas) seperti Ustaz,Muallim,Mufti,Sheikh ulIslam dan sebagainya.Qadi juga mesti merupakan seorang laki-laki Islam yang sudah merdeka dan telah pubertas.
 
Copyright © KUA RAJADESA - All Rights Reserved
Template Craeted by : Egy Alfiansyah
Proudly Powered by KANTOR URUSAN AGAMA RAJADESA