02.41
Ada tiga sifat utama Sunnatullah yang disinggung dalam Al-Qur’an, yaitu: pasti, tetap, dan obyektif. Sifat yang pertama, yaitu pasti, tentu menjamin dan memberi kemudahan kepada manusia membuat rencana, sehingga dapat membuat perhitungan yang tepat menurut Sunnatullah:
"… Dia telah menciptakan sesuatu, dan Dia
(pula yang) memastikan (menentukan) ukurannya dengan sangat rapi." (QS 25:2)
"… Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan (kepastian) bagi tiap sesuatu." (QS 65:3)
Sifat yang kedua adalah tetap, tidak berubah-ubah:
"… Tidak ada yang sanggup menggubah
kalimat-kalimat Allah." (QS 6:115)
"… Dan engkau tidak akan menemui perubahan dalam Sunnah kami …" (QS 17:77)
Sifat yang ketiga adalah obyektif:
"…, bahwasanya dunia ini akan diwarisi oleh
hamba-hamba-Ku yang saleh." (QS 21:105)
Demikianlah alam semesta diciptakan Allah dengan hukum-hukum yang berlaku baginya yang
(kemudian) diserahkan-Nya kepada manusia untuk dikelola dan dimanfaatkan, sebagai
khalifah. Untuk dapat menjalankan kedudukannya itu manusia diberi bekal berupa
potensi seperti akal yang melahirkan berbagai ilmu sebagai alat untuk mengelola dan memanfaatkan
alam semesta serta mengurus bumi ini.
"Dia telah mengajarkan kepada Adam
nama-nama (benda) seluruhnya …" (QS 2:31)
Dengan akal dan ilmu yang dikuasainya, manusia akan mampu mengelola dan memanfaatkan alam
semesta serta bumi ini untuk kepentingan manusia serta makhluk lain. Atas pelaksanaan amanat
tersebut manusia akan dimintai pertanggungjawabannya di akherat apakah telah mengikuti dan mematuhi
pola dan garis besar yang diberikan melalui para nabi dan rasul yang termuat dalam
ajaran agama.
"… Mereka (manusia) punya hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami
(ayat-ayat Allah), punya mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah), punya telinga tetapi tidak mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka (manusia) yang seperti
itu sama (martabatnya) dengan hewan bahkan lebih rendah (lagi) dari binatang." (QS 7:179)
Di dalam Al-Qur’an manusia disebut antara lain dengan al-insan (QS 76:1), an-nas
(QS 114:1), basyar (QS 18:110), bani adam (QS 17:70). Berdasarkan studi isi
Al-Qur’an dan Al-Hadits, manusia (al-insan) adalah makhluk ciptaan Allah yang memiliki
potensi untuk beriman kepada Allah dan dengan mempergunakan akalnya mampu memahami dan
mengamalkan wahyu serta mengamati gejala-gejala alam, mempunyai rsa tanggung jawab atas segala
perbuatannya dan berakhlak (N.A. Rasyid, 1983: 19). Berdasarkan rumusan tersebut, manusia
mempunyai berbagai ciri sebagai berikut:
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dari suatu saripati (berasal dari) tanah [12]. Kemudian Kami jadikan saripati itu air
mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim) [13]. Kemudian air mani itu Kami jadikan
segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu
Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian
kami jadikan ia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci-lah Allah, Pencipta Yang Paling
Baik [14]. Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai
penciptaan manusia dari tanah [7]. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air
yang hina (air mani) [8]. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh
(ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi Kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; (tetapi) kamu
sedikit sekali bersyukur [9]." (QS 23:12-14, 32:7-9)
Sedangkan menurut hadits, Rasulullah bersabda:
"Sesungguhnya, setiap manusia dikumpulkan
kejadiannya dalam perut ibunya selama empat puluh hari sebagai nuthfah (air mani), empat puluh
hari sebagai ‘alaqah (segumpal darah), selama itu pula sebagai mudhghah (segumpal daging).
Kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan roh ke dalam tubuh manusia, yang berada dalam
rahim itu" (HR Bukhari dan Muslim)
Ali Syari’ati – sejarawan dan ahli sosiologi Islam terkemuka – mengemukakan pendapatnya
mengenai intrepretasi hakikat kejadian manusia. Manusia menpunyai dua dimensi: dimensi ketuhanan
(kecendrungan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah) dan dimensi kerendahan atau kehinaan
(lumpur mencerminkan keburukan-kehinaan). Karena itulah manusia dapat mencapai derajat yang
tinggi namun dapat pula terperosok dalam lembah yang hina, yang manusia dibebaskan untuk
memilihnya.
Ali Syari’ati memberikan makna tentang filsafat manusia:
"Sesungguhnya agama (yang diridhai) di
sisi Allah hanyalah Islam …" (QS 3:19)
Manusia sebagai makhluk Ilahi hidup dan kehidupannya berjalan melalui lima tahap: (1)
alam gaib, (2) alam rahim, (3) alam dunia, (4) alam barzakh, dan (5) alam akherat.
Dari kelima tahapan kehidupan manusia itu, tahap kehidupan di dunia merupakan tahap yang
menentukan tahap kehidupan selanjutnya, sehingga manusia dikaruniai Allah dengan berbagai
alat perlengkapan dan bekal agar dapat menjalankan tugas sebagai khalifah di bumi,
serta pedoman agar selamat sejahtera di dunia dalam perjalanannya menuju tempatnya yang kekal
di akherat nanti. Pedoman itu adalah agama.
Sesunguhnya manusia diciptakan Allah untuk beribadah kepada-Nya. Apa arti ibadah? Apakah secara ritual menyembah Allah, shalat lima waktu, puasa, zakat, dan berhaji saja? Bila memang itu maknanya, lalu bagaimana dengan usaha mempertahankan hidup? Apakah hanya dengan shalat maka hidangan akan disediakan Allah begitu saja? Tentu tidak, kita sebagai manusia harus berusaha memperoleh makan dan minum. Sebagai manusia kita harus bekerja untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup. Bila ibadah hanya diartikan sebatas pada ibadah ritual belaka dan tidak memasukkan bekerja sebagai suatu ibadah pula, maka merugilah manusia karena hanya sedikit dari waktunya untuk beribadah, bila dibandingkan ibadah dalam artian luas yang tidak terbatas pada ibadah ritual belaka. Tujuan ibadah:
"Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang
telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertaqwa." (QS 2:21)
Prof.DR. M. Mutawwali As-Sya’rani mengutarakan bahwa: manusia diberi sarana oleh-Nya,
diberi bumi yang tunggal dan beribadah pada-Nya, Alah telah memberi kewajiban-kewajiban,
karenanya Allah meminta hak agar manusia beribadah kepada-Nya dengan tujuan agar manusia dapat
terhindar dari soal-soal buruk yang merugikan di dunia.
"… Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah kuridhai Islam itu jadi
agama(din) bagimu …" (QS 5:3)
"Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia …" (QS 3:112)
Persamaan istilah agama tidak dapat dijadikan alasan untuk menyebutkan bahwa semua agama
adalah sama, karena adanya perbedaan makna atas istilah agama tersebut, yang berbeda atas
sistem, ruang lingkupnya, dan klasifikasinya.
Karena agama merupakan kepentingan mutlak setiap orang dan setiap orang terlibat dengan agama yang dipeluknya maka tidaklah mudah untuk membuat suatu defenisi yang mencakup semua agama, namun secara umum dapat didefenisikan sebagai berikut: agama adalah kepercayaan kepada Tuhan yang dinyatakan dengan mengadakan hubungan dengan-Nya melalui upacara, penyembahan dan permohonan, dan membentuk sikap hidup manusia menurut atau berdasarkan ajaran agama itu.
Sayangnya, pada saat ini, kebanyakan kaum muslim tidak memahami hal ini. Mereka memahami ajaran Islam sebagaimana para penganut agama lain memahami ajaran agama mereka masing-masing, yakni bahwa ajaran agama hanya berlaku di tempat-tempat ibadah dan dilaksanakan secara ritual, tanpa ada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut biasanya disebabkan karena dua hal: Pertama, terjadinya gerakan pembaruan di Eropa yang fikenal sebagai Renaissance dan Humanisme, sebagai reaksi masyarakat yang dikekang oleh kaum gereja pada masa abad pertengahan atau Dark Ages, kaum gereja mendirikan mahkamah inkuisisi yang digunakan untuk menghabisi para ilmuwan, cendikiawan, serta pembaharu. Setelah itu, pada masa Renaissance, masyarakat menilai bahwa Tuhan hanya berkuasa di gereja , sedangkan di luar itu masyarakat dan rajalah yang berkuasa. Paham dikotomis ini kemudian dibawa ke Asia melalui penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa; Kedua, masih adanya ulama-ulama yang jumud, kaku dalam menerapkan syariat-syariat Islam, tidak dapat atau tidak mau mengikuti perkembangan jaman. Padahal selama tidak melanggar Al-Qur’an dan Hadits, ajaran-ajaran Islam adalah luwes dan dapat selalu mengikuti perkembangan zaman. Akibat kejumudan tersebut, banyak kalangan masyrakat yang merasa takut atau kesulitan dalam menerapkan syariat-syariat Islam dan menilainya tidak aplikatif. Ini membuat masyarakat semakin jauh dari syariat Islam.
Paham dikotomis melalui sekularisme tersebut antara lain dipengaruhi terutama oleh pemikiran August Comte melalui bukunya Course de la Philosophie Positive (1842) mengemukakan bahwa sepanjang sejarah pemikiran manusia berkembang melalui tiga tahap: (1) tahap teologik, (2) tahap metafisik, dan (3) tahap positif; pemikiran tersebut melahirkan filsafat positivisme yang mempengaruhi ilmu pengetahuan sosial dan humaniora, melalui sekularisme. Namun teori tersebut tidaklah benar, sebab perkembangan pemikiran manusia tidaklah demikian, seperti pada zaman modern ini (tahap ketiga), manusia masih tetap percaya pada Tuhan dan metafisika, bahkan kembali kepada spiritualisme.
Sejarah umat manusia di barat menunjukkan bahwa dengan mengenyampingkan agama dan mengutamakan ilmu dan akal manusia semata-mata telah membawa krisis dan malapetaka. Atas pengalamannya tersebut, kini perhatian manusia kembali kepada agama, karena: (1) Ilmuwan yang selama ini meninggalkan agama, kembali pada agama sebagai pegangan hidup yang sesungguhnya, dan (2) harapan manusia pada otak manusia untuk memecahkan segala masalah di masa lalu tidak terwujud.
Kemajuan ilmu pengetahuan telah membawa manusia pada tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi, namun dampak negatifnya juga cukup besar berpengaruh pada kehidupan manusia secara keseluruhan. Sehingga untuk dapat mengendalikan hal tersebut diperlukan agama, untuk diarahkan untuk keselamatan dan kebahagiaan umat manusia.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa agama sangat diperlukan oleh manusia sebagai pegangan hidup sehingga ilmu dapat menjadi lebih bermakna, yang dalam hal ini adalah Islam. Agama Islam adalah agama yang selalu mendorong manusia untuk mempergunakan akalnya memahami ayat-ayat kauniyah (Sunnatullah) yang terbentang di alam semesta dan ayat-ayat qur’aniyah yang terdapat dalam Al-Qur’an, menyeimbangkan antara dunia dan akherat. Dengan ilmu kehidupan manusia akan bermutu, dengan agama kehidupan manusia akan lebih bermakna, dengan ilmu dan agama kehidupan manusia akan sempurna dan bahagia.
Al-Qardhawy, Yusuf. Fiqih Daulah dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Ali, Mohammad Daud. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998.
MANUSIA DAN AGAMA
oleh Muhamad Shiroth, Imam Hartojo, dan Reza Nursadewo
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Depok, 1999
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Depok, 1999
Manusia dan Alam Semesta
Dari sudut pandang manusia, yang ada adalah Allah Sang Pencipta dan alam semesta yang
diciptakan Allah. Sebelum Allah menciptakan Adam sebagai manusia pertama, alam semesta telah
diciptakan-Nya dengan tatanan kerja yang teratur, rapi, dan serasi. Keteraturan, kerapian, dan
keserasian ini dapat dilihat dari dua kenyataan: Pertama,berupa keteraturan, kerapian, dan
keserasian dalam hubungan alamiah antara bagian-bagian di dalamnya dengan pola saling melengkapi dan
mendukung; Kedua, keteraturan yang ditugaskan kepada malaikat untuk menjaga dan melaksanakannya.
Kedua hal itulah yang membuat berbagai keteraturan, kerapian, dan keserasian yang kita yakini
sebagai Sunnatullah yakni ketentuan dan hukum yang ditetapkan Allah. Seperti pada
matahari sebagai pusat dari sistem tata surya, berputar pada sumbunya dan memancarkan energinya
kepada alam semesta secara teratur dan tetap.Ada tiga sifat utama Sunnatullah yang disinggung dalam Al-Qur’an, yaitu: pasti, tetap, dan obyektif. Sifat yang pertama, yaitu pasti, tentu menjamin dan memberi kemudahan kepada manusia membuat rencana, sehingga dapat membuat perhitungan yang tepat menurut Sunnatullah:
"… Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan (kepastian) bagi tiap sesuatu." (QS 65:3)
"… Dan engkau tidak akan menemui perubahan dalam Sunnah kami …" (QS 17:77)
Manusia Menurut Agama Islam
Al-Qur’an tidak menggolongkan manusia ke dalam kelompok hewan selama manusia mempergunakan
akal dan karunia Tuhan lainnya. Namun bila manusia tidak mempergunakan akal dan berbagai
potensi pemberian Tuhan yang sangat tinggi nilainya seperti: pemikiran, kalbu, jiwa, raga,
serta pancaindera secara baik dan benar, ia akan menurunkan derajatnya sendiri menjadi hewan:
- Makhluk yang paling unik, dijadikan dalam bentuk yang sangat baik, ciptaan Tuhan yang
paling sempurna.
"Sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (QS 95:4) - Manusia memiliki potensi (daya atau kemampuan yang mungkin dikembangkan) beriman kepada
Allah.
"… ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ " (QS 7:172) - Manusia diciptakan Allah untuk mengabdi kepada-Nya.
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (QS 51:56) - Manusia diciptakan Tuhan untuk menjadi khalifahnya di bumi.
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesunggunya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ … " (QS 2:30) - Manusia dilengkapi akal, perasaan, dan kemauan atau kehendak.
"Dan katakanlah: ‘kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.’ …" (QS 18:29} - Manusia secara individual bertanggung jawab atas segala perbuatannya.
"… Setiap orang (manusia) terikat (bertanggung jawab) terhadap apa yang dilakukannya." (QS 52:21) - Manusia itu berakhlak.
Ali Syari’ati memberikan makna tentang filsafat manusia:
- Manusia tidaklah sama (konsep hukum), tetapi bersaudara (asal kejadian).
- Manusia mempunyai persamaan antara pria dan wanita (sumber yang sama yakni dari Tuhan).
- Manusia mempunyai derajat yang lebih tinggi dari malaikat karena pengetahuan yang dimilikinya.
- Manusia memiliki fenomena dualistis: terdiri dari tanah dan roh Tuhan, yang terdapat kebebasan pada dirinya untuk memilih.
Sesunguhnya manusia diciptakan Allah untuk beribadah kepada-Nya. Apa arti ibadah? Apakah secara ritual menyembah Allah, shalat lima waktu, puasa, zakat, dan berhaji saja? Bila memang itu maknanya, lalu bagaimana dengan usaha mempertahankan hidup? Apakah hanya dengan shalat maka hidangan akan disediakan Allah begitu saja? Tentu tidak, kita sebagai manusia harus berusaha memperoleh makan dan minum. Sebagai manusia kita harus bekerja untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup. Bila ibadah hanya diartikan sebatas pada ibadah ritual belaka dan tidak memasukkan bekerja sebagai suatu ibadah pula, maka merugilah manusia karena hanya sedikit dari waktunya untuk beribadah, bila dibandingkan ibadah dalam artian luas yang tidak terbatas pada ibadah ritual belaka. Tujuan ibadah:
Agama: Arti dan Ruang Lingkupnya
Sesuai dengan asal muasal katanya (sansekerta: agama,igama, dan ugama) maka makna agama
dapat diutarakan sebagai berikut: agama artinya peraturan, tata cara, upacara hubungan manusia
dengan raja; igama artinya peraturan, tata cara, upacara hubungan dengan dewa-dewa; ugama
artinya peraturan, tata cara, hubungan antar manusia; yang merupakan perubahan arti pergi
menjadi jalan yang juga terdapat dalam pengertian agama lainnya. Bagi orang Eropa,
religion hanyalah mengatur hubungan tetap (vertikal) anatar manusia dengan Tuhan saja.
Menurut ajaran Islam, istilah din yang tercantum dalam Al-Qur’an mengandung pengertian
hubungan manusia dengan Tuhan (vertikal) dan hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat
termasuk dirinya sendiri, dan alam lingkungan hidupnya (horisontal)."Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia …" (QS 3:112)
Karena agama merupakan kepentingan mutlak setiap orang dan setiap orang terlibat dengan agama yang dipeluknya maka tidaklah mudah untuk membuat suatu defenisi yang mencakup semua agama, namun secara umum dapat didefenisikan sebagai berikut: agama adalah kepercayaan kepada Tuhan yang dinyatakan dengan mengadakan hubungan dengan-Nya melalui upacara, penyembahan dan permohonan, dan membentuk sikap hidup manusia menurut atau berdasarkan ajaran agama itu.
Hubungan Manusia dengan Agama
Tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah sebagai pencipta alam semesta.
Allah sendiri yang mencipta dan memerintahkan ciptaan-Nya untuk beribadah kepada-Nya, juga
menurunkan panduan agar dapat beribadah dengan benar. Panduan tersebut diturunkan Allah melalui
nabi-nabi dan rasul-rasul-Nya, dari Adam AS hingga Muhammad SAW. Nabi-nabi dan rasul-rasul
tersebut hanya menerima Allah sebagai Tuhan mereka dan Islam sebagai panduan kehidupan mereka.
Beribadah diartikan secara luas meliputi seluruh hal dalam kehidupan yang ditujukan hanya
kepada Allah. Kita meyakini bahwa hanya Islamlah panduan bagi manusia menuju kebahagiaan dunia
dan akherat. Islam telah mengatur berbagai perihal dalam kehidupan manusia. Islam merupakan
sistem hidup, bukan sekedar agama yang mengatur ibadah ritual belaka.Sayangnya, pada saat ini, kebanyakan kaum muslim tidak memahami hal ini. Mereka memahami ajaran Islam sebagaimana para penganut agama lain memahami ajaran agama mereka masing-masing, yakni bahwa ajaran agama hanya berlaku di tempat-tempat ibadah dan dilaksanakan secara ritual, tanpa ada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut biasanya disebabkan karena dua hal: Pertama, terjadinya gerakan pembaruan di Eropa yang fikenal sebagai Renaissance dan Humanisme, sebagai reaksi masyarakat yang dikekang oleh kaum gereja pada masa abad pertengahan atau Dark Ages, kaum gereja mendirikan mahkamah inkuisisi yang digunakan untuk menghabisi para ilmuwan, cendikiawan, serta pembaharu. Setelah itu, pada masa Renaissance, masyarakat menilai bahwa Tuhan hanya berkuasa di gereja , sedangkan di luar itu masyarakat dan rajalah yang berkuasa. Paham dikotomis ini kemudian dibawa ke Asia melalui penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa; Kedua, masih adanya ulama-ulama yang jumud, kaku dalam menerapkan syariat-syariat Islam, tidak dapat atau tidak mau mengikuti perkembangan jaman. Padahal selama tidak melanggar Al-Qur’an dan Hadits, ajaran-ajaran Islam adalah luwes dan dapat selalu mengikuti perkembangan zaman. Akibat kejumudan tersebut, banyak kalangan masyrakat yang merasa takut atau kesulitan dalam menerapkan syariat-syariat Islam dan menilainya tidak aplikatif. Ini membuat masyarakat semakin jauh dari syariat Islam.
Paham dikotomis melalui sekularisme tersebut antara lain dipengaruhi terutama oleh pemikiran August Comte melalui bukunya Course de la Philosophie Positive (1842) mengemukakan bahwa sepanjang sejarah pemikiran manusia berkembang melalui tiga tahap: (1) tahap teologik, (2) tahap metafisik, dan (3) tahap positif; pemikiran tersebut melahirkan filsafat positivisme yang mempengaruhi ilmu pengetahuan sosial dan humaniora, melalui sekularisme. Namun teori tersebut tidaklah benar, sebab perkembangan pemikiran manusia tidaklah demikian, seperti pada zaman modern ini (tahap ketiga), manusia masih tetap percaya pada Tuhan dan metafisika, bahkan kembali kepada spiritualisme.
Sejarah umat manusia di barat menunjukkan bahwa dengan mengenyampingkan agama dan mengutamakan ilmu dan akal manusia semata-mata telah membawa krisis dan malapetaka. Atas pengalamannya tersebut, kini perhatian manusia kembali kepada agama, karena: (1) Ilmuwan yang selama ini meninggalkan agama, kembali pada agama sebagai pegangan hidup yang sesungguhnya, dan (2) harapan manusia pada otak manusia untuk memecahkan segala masalah di masa lalu tidak terwujud.
Kemajuan ilmu pengetahuan telah membawa manusia pada tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi, namun dampak negatifnya juga cukup besar berpengaruh pada kehidupan manusia secara keseluruhan. Sehingga untuk dapat mengendalikan hal tersebut diperlukan agama, untuk diarahkan untuk keselamatan dan kebahagiaan umat manusia.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa agama sangat diperlukan oleh manusia sebagai pegangan hidup sehingga ilmu dapat menjadi lebih bermakna, yang dalam hal ini adalah Islam. Agama Islam adalah agama yang selalu mendorong manusia untuk mempergunakan akalnya memahami ayat-ayat kauniyah (Sunnatullah) yang terbentang di alam semesta dan ayat-ayat qur’aniyah yang terdapat dalam Al-Qur’an, menyeimbangkan antara dunia dan akherat. Dengan ilmu kehidupan manusia akan bermutu, dengan agama kehidupan manusia akan lebih bermakna, dengan ilmu dan agama kehidupan manusia akan sempurna dan bahagia.
Referensi
Al-Qur’an dan Terjemahannya.Al-Qardhawy, Yusuf. Fiqih Daulah dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Ali, Mohammad Daud. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998.
Label:
Artikel
01.59
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab II pasal 2 disebutkan bahwa Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqqan ghaliidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Karena pernikahan itu ibadah maka berkaitan erat dengan segala syarat dan rukun yang merupakan salah satu kewajiban yang harus terpenuhi sebelum pelaksanaan akad nikah dan akan berjalan tertib dalam pelaksanaannya.
PERATURAN BATAS USIA PERNIKAHAN DALAM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab II pasal 2 disebutkan bahwa Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqqan ghaliidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Karena pernikahan itu ibadah maka berkaitan erat dengan segala syarat dan rukun yang merupakan salah satu kewajiban yang harus terpenuhi sebelum pelaksanaan akad nikah dan akan berjalan tertib dalam pelaksanaannya.
Pernikahan merupakan akad yang suci yang menghalalkan pergaulan suami isteri
dengan nama Allah. Saking pentingnya pernikahan Rasulullah SAW
mengingatkan umatnya dalam khutbah haji wada di Namira sebagaimana
sabdanya “Wahai manusia, berlaku baiklah terhadap isteri kalian mereka itu merupakan teman-teman yang akan membantu kalian, mereka tidak memiliki sesuatu untuk diri mereka, kalian telah mengambil mereka sebagai amanah Allah dan kehormatan mereka dihalalkan bagi kalian dengan nama Allah”. Dalam sebuah hadis lain Rasululah SAW bersabda “Nikah itu sunnah kami, siapa yang membenci sunnahku maka bukan dari golonganku”. Oleh karena itu akad nikah
merupakan suatu akad yang suci yang akan menghalakan kehormatan dengan
nama Allah, dengan tujuan ibadah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang sakinah mawadah dan rohmah.
Salah
satu persyaratan yang sering menjadi perbincangan masyarakat
akhir-akhir ini adalah batas usia pernikahan. Hal ini sering muncul
seiring dengan bermunculannya kasus-kasus yang menjadi sorotan media di
berbagai daerah, seperti pernikahan yang dilakukan oleh Syeh Puji
terhadap anak dibawah umur beberapa waktu yang lalu. Permasalahannya
adalah berapa batas usia pernikahan dalam undang-undang di Indonesia?
Untuk menjawabnya tentu kita perlu merujuk pada ketentuan perundangan
yang berkaitan dengan masalah tersebut.
Di dalam Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab 2 pasal 7 ayat 1 berbunyi “Perkawinan
hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun (sembilan
belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enambelas) tahun. Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah Bab IV pasal 8 “Apabila seorang calon sumi belum mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan seorang calon isteri belum mencapai umur 16 (enambelas) tahun, harus mendapat dispensasi dari pengadilan”. Pasal-pasal tersebut diatas sangat jelas sekali hampir tak ada alternatif penafsiran, bahwa usia yang diperbolehkan menikah di Indonesia untuk laki-laki 19 (sembilan belas) tahun dan untuk wanita 16 (enambelas) tahun. Namun itu saja belum cukup, dalam tataran implementasinya masih ada syarat yang harus ditempuh oleh calon pengantin (catin), yakni jika calon suami dan calon isteri belum genap berusia 21 (duapuluh satu) tahun maka harus ada ijin dari orang tua atau wali nikah, hal itu sesuai dengan Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 tentang Pencatatan nikah Bab IV pasal 7 “Apabila seorang calon mempelai belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun, harus mendapat ijin tertulis kedua orang tua”.
Ijin ini sipatnya wajib, karena usia itu dipandang masih memerlukan
bimbingan dan pengawasan orang tua/wali. Dalam format model N5 orang tua
/wali harus membubuhkan tanda tangan dan nama jelas, sehingga ijin
dijadikan dasar oleh PPN/ penghulu bahwa kedua mempelai sudah
mendapatkan ijin/restu orang tua mereka. Lain halnya jika kedua calon
pengantin sudah lebih dari 21 (dua puluhsatu) tahun, maka para catin
dapat melaksanakan pernikahan tanpa ada ijin dari orang tua/wali. Namun
untuk calon pengantin wanita ini akan jadi masalah karena orang tuanya
merupakan wali nasab sekaligus orang yang akan menikahkannya. Oleh
karena itu ijin dan doa restu orang tua tentu suatu hal yang sangat
penting karena akan berkaitan dengan salah satu rukun nikah yakni adanya wali nikah.
Dalam
khazanah ilmu fiqh ada sebagian para ulama tidak memberikan batasan
usia pernikahan, artinya berapapun usia catin tidak menghalangi sahnya
pernikahan, bahkan usia belum baligh sekalipun, hal inilah yang menjadi
dasar jaman dahulu ada yang disebut istilah kawin gantung. Namun mayoritas ulama di dunia Islam sepakat mencantumkan pembatasan usia nikah
sebagai dasar yang dipakai di negara masing-masing. Di bawah ini adalah
batas usia pernikahan di sebagian negara-negara muslim yang merupakan
hasil studi komperatif Tahir Mahmood dalam buku Personal law in Islamic Cauntries ( History, Text and Comparetive Analysis ) :
Negara
|
Pria
/tahun
|
Wanita
/tahun
|
Aljazair
|
21
|
18
|
Bangladesh
|
21
|
18
|
Indonesia
|
21
|
21
|
Tunisia
|
19
|
17
|
Mesir
|
18
|
16
|
Irak
|
18
|
18
|
Libanon
|
18
|
17
|
Libya
|
18
|
16
|
Malaysia
|
18
|
16
|
Maroko
|
18
|
16
|
Pakistan
|
18
|
16
|
Somalia
|
18
|
18
|
Yaman Selatan
|
18
|
16
|
Suriah
|
18
|
17
|
Turki
|
17
|
15
|
Jordania
|
16
|
15
|
Yaman Utara
|
15
|
15
|
Data diatas menunjukan bahwa dalam menentukan batas usia pernikahan, para ulama di negara muslim sepakat memberikan batasan pernikahan
setelah usia baligh, walaupun dalam rentang yang tidak sama dan
berpariasi, karena di dalam ilmu fiqh baligh jika dikaitkan dengan
ukuran usia berkisar laki-laki antara 15 ( lima belas ) tahun dan wanita
antara 9 (sembilan) tahun.
Permasalahan
selanjutnya adalah bagaimana jika laki-laki masih dibawah 19 tahun dan
wanita masih dibawah 16 tahun akan melaksanakan pernikahan?. Hal ini
bisa didorong karena berbagai hal antara lain: khawatir jina’, sudah
terlalu akrab, sudah tak bisa dipisahkan, sudah cukup, cakap dan mampu dari segi materi serta fisik atau bahkan sudah kecelakaan.
Undang-undang perkawinan No 1 tahun 1974 ternyata tidak kaku dan cukup memberikan ruang toleransi, hal ini bisa terlihat dari pasal 7 ayat (2) Dalam
hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi
kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua
pihak pria ataupun pihak wanita. Bagi umat Islam tentu orang tua/wali para catin harus mengajukan ijin dispensasi nikah kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah kabupaten didaerah catin tinggal. Setelah ijin keluar baru akad nikah
bisa dilaksanakan. Ijin tersebut akan dijadikan dasar oleh PPN/Penghulu
serta akan mencantumkannya dalam lembaran NB daftar pemeriksaan nikah poin II Calon Suami No 16 baris 33,34 dan poin III Calon Isteri No.16 baris 71,72. Dengan demikian pernikahan yang masih dibawah umur atas ijin pengadilan menjadi sah dan berkekuatan hukum.
Selanjutnya
dalam Undang-undang Republik Indonesia No 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan anak Bab I Ketentuan Umum pasal 1 ayat (1) anak adalah seseorang yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Ayat (2) Perlindungan
anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi,
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskrimninasi.
Jika
kita lihat sebagian pasal pada undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
diatas, tentu ada hal yang perlu di berikan elaborasi, terutama
menyangkut batasan anak dan batasan nikah, karena kedua ukuran tersebut
masih bisa menimbulkan perdebatan yang panjang. Disatu sisi ia masih
katagori anak-anak tapi disi lain dikatakan sudah cukup
untuk menikah. Hal ini menjadi penting untuk ditindak lanjuti terutama
oleh para pemangku kepentingan mungkin para akademisi, ulama, legislatip
atau siapapun di Republik ini. Karena orang tua/wali membutuhkan
kejelasan dan perlindungan hukum dalam membahagiakan anaknya, serta
PPN/Penghulu membutuhkan ketenangan dalam melaksanakan
tugas sebagai pelayanan prima kepada masyarakat, apalagi dalam
Undang-undang Perlindungan Anak Bab XII tercantum ketentuan pidana.
Tentu hal ini perlu pengkajian yang konprehensip, agar tidak menjadi media
bagi pihak lain yang berkepentingan untuk menyudutkan dan atau
menyalahkan pihak lainnya, yang pada gilirannya aturan itu bisa berjalan
seiring, sejalan, saling mengayomi, saling melengkapi dan tidak saling
bersinggungan. Semoga..
Label:
Artikel
01.55
Salah satu fenomena yang terjadi dewasa ini adalah maraknya
pernikahan ‘jalan pintas’ ( nikah sirri ) dimana seorang wanita yang
telah dewasa manakala tidak mendapatkan restu dari kedua orangtuanya
atau merasa bahwa orangtuanya tidak akan merestuinya; maka dia lebih
memilih untuk menikah tanpa walinya tersebut dan berpindah tangan kepada
para penghulu bahkan kepada orang ‘yang diangkat’ nya sendiri sebagai
walinya. Hal ini dilakukan dalam rangka upaya untuk menghindari
perzinaan.
Keberadaan wali dalam suatu pernikahan merupakan perkara khilafiyah ( berbeda pendapat ) dikalangan para ulama mazhab, artinya seorang muslim boleh dan tidak tercela mengambil atau berpegang kepada salah satu dari dua pendapat tersebut tanpa saling menyalahkan, tentunya dengan landasan ilmu dan pemahaman bukan sekedar ikut-ikutan ;
1. Jumhur (mayoritas-kebanyakan) ulama mazhab menyatakan bahwa wali dalam pernikahan adalah rukun nikah. Artinya tidak sah nikah tanpa wali. Berdasarkan beberapa hadits ; Dari Abu Burdah, dari Abu Musa dari ayahnya –radliyallâhu ‘anhuma-, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan wali.” Dalam hadits lain ; Dari ‘Imran bin al-Hushain secara marfu’ : “Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi.” Dan dari ‘Aisyah radliyallâhu ‘anha, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Siapa saja wanita yang menikah tanpa idzin walinya, maka pernikahannya batil; jika dia (suami) sudah berhubungan badan dengannya, maka dia berhak mendapatkan mahar sebagai imbalan dari dihalalkannya farajnya; dan jika mereka berselisih, maka sultan (penguasa/hakim dan yang mewakilinya-red.,) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.”
Hadits pertama dari kajian ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan empat Imam hadits, pengarang kitab-kitab as-Sunan (an-Nasaiy, at-Turmudziy, Abu Daud dan Ibn Majah). Hadits tersebut dinilai shahîh oleh Ibn al-Madiniy dan at-Turmudziy serta Ibn Hibban yang menganggapnya memiliki ‘illat (cacat), yaitu al-Irsal (terputusnya mata rantai jalur transmisinya setelah seorang dari Tabi’in, seperti bila seorang Tab’iy berkata, “Rasulullah bersabda, demikian…”).
Hadits kedua dari kajian ini diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dari al-Hasan dari ‘Imran bin al-Hushain secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah). Menurut Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassam, kualitas hadits ini adalah Shahîh dan dikeluarkan oleh Abu Daud, at-Turmudziy, ath-Thahawiy, Ibn Hibban, ad-Daruquthniy, al-Hâkim, al-Baihaqiy dan selain mereka. Hadits ini juga dinilai shahîh oleh Ibn al-Madiniy, Ahmad, Ibn Ma’in, at-Turmudziy, adz-Dzuhliy, Ibn Hibban dan al-Hâkim serta disetujui oleh Imam adz-Dzahabiy.
Sedangkan hadits yang ketiga dari kajian ini, kualitasnya adalah Hasan. Hadits tersebut dikeluarkan oleh Imam Ahmad, asy-Syafi’iy, Abu Daud, at-Turmudziy, Ibn Majah, ad-Daruquthniy, al-Hâkim dan al-Baihaqiy serta selain mereka dari jalur yang banyak sekali melalui Ibn Juraij dari Sulaiman bin Musa dari az-Zuhriy dari ‘Urwah dari ‘Aisyah. Rijâl (Para periwayat dalam mata rantai periwayatan) tersebut semuanya Tsiqât dan termasuk Rijâl Imam Muslim.
2. Sebagian Ulama menyatakan bahwa wali tidak menjadi syarat atau rukun sebuah pernikahan. Artinya pernikahan dianggap sah walau tanpa wali apabila wanita yang akan menikah tersebut sudah dewasa ( janda atau perawan ). Dan Pendapat ini dipegang oleh Imam Abu Hanifah.
Al-Imam Muhammad ibn ‘Ali al-Shawkani dalam Nayl al-Awtar mengatakan bahwa hadits ini ( Larangan nikah tanpa wali ) tidak sunyi dari pertikaian yaitu dari segi bersambung atau terputus sanad.
Dua orang ulama besar dalam ilmu hadits yaitu Sufyan al-Thawri dan Shu`bah ibn al-Hajjaj mengatakan hadith ini mursal. Terdapat seorang perawi bernama Abu Ishaq al-Hamdani seorang yang thiqah tetapi mudallis seperti yang disebut oleh Ibn Hibban dalam al-Thiqat. Dalam riwayat al-Bayhaqi semua perawinya adalah thiqah tetapi hanya mawquf pada Abu Hurayrah.
Dalam riwayat Ahmad ibn Hanbal, Ibn Majah dan al-Tabarani terdapat seorang perawi bernama al-Hajjaj ibn Arta’ah seorang daif dan mudallis. Ibn Hanbl berkat hamper semua riwaytanya mempunyai ziyadah, Ibn al-Madini meninggalkannya. Abu Htaim al-Razi berkata beliau saduq tetapi yudallis dari du`afa’.
Lantaran itu, al-Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa wali tidak diambil secara mutlak dan tidak perlu keizinan wali berdasarkan hadits sahih yang artinya, “Wanita yang tidak bersuami itu (al-ayyim) lebih berhak terhadap dirinya dari walinya.” Riwayat al-Jama`ah kecuali al-Bukhari. Yakni dengan syarat ia mengawinkan dirinya dengan lelaki yg sekufu.
Abu Hanifah menangggap zahir nas al-Quran itu amat kuat dan tidak boleh ditakhsis atau ditafsil oleh hadith al-Ahad. Beliau hanya menerima hadith mutawatir atau mashhur yang tidak dipertikaikan. Abu Hanifah menolak hadith al-Zuhri di atas karena apabila al-Zuhri ditanya tentang hadits tersebut beliau tidak mengetahuinya dan menafikan bahwa beliau meriwayatkannya. Dalam sanad hadits riwayat Ibn Majah pula ada seorang pendusta bernama Jamil ibn Hasan al-‘Ataki.
Abu Hanifah dan al-Hanafiyyah juga berhujah dengan qiyas iaitu apabila wanita bebas dalam aqad jual beli dan urusan-urusan lain, maka mereka juga bebas tentang aqad perkawinan mereka. Ini karena tiada perbedaan antara satu aqad dengan aqad yang lain. Mereka juga mengqiyaskan wanita dengan lelaki dalam mewalikan diri sendiri setelah aqil baligh.
Al-Imam Malik ibn Anas
Malik ibn Anas membenarkan wanita yang tidak cantik, tidak berharta, tidak berketurunan mulia untuk nikah tanpa wali. Dawud al-Zahiri mengharuskan nikah tanpa wali bagi janda dan mensyaratkan wali bagi wanita perawan.
Al-Imam al-Shafii
Yunus ibn ‘Abd al-A`la mengatakan bahwa al-Imam al-Shafi`i sendiri mengatakan bahwa sekiranya seorang wanita dalam musafir dan ketiadaan wali, lalu ia tahkim yaitu menyerahkan perkawinannya kepada seorang lelaki, maka itu adalah harus (boleh). al-Nawawi menyokong perkara itu dengan syarat lelaki itu mesti adil. al-Nawawi mengatakan bahawa Yunus seorang yang thiqah.
Shaykh ‘Abd al-Rahman al-Jaziri seorang faqih terkemuka al-Azhar mengatakan bahawa kedua-dua bentuk pernikahan adalah sah, amat perlu dalam masyarakat Islam dan beliau menyokong hujah-hujah Hanafiyyah. Beliau berpendapat bahawa perkara ini menunjukkan kekekalan, kesyumulan dan kesesuaian Islam untuk menyelesaikan masalah masyarakat pada setiap masa dan tempat sehingga tidak ada seorang pun yang teraniaya. Kedua-dua pendapat adalah bagus, boleh diamalkan dan diterima akal. Menurut beliau, apabila aqad mengikut mazhab jumhur terhalang karena sesuatu sebab, umat Islam perlu menggunakan pendapat yang kedua (Pendapat Abu Hanifah) dan hal tersebut tidak tercela.
Mazhab al-Imam Abu Thawr dan al-Awza`i
Abu Thawr dan al-Awza`i mengatakan bahwa harus (boleh) bagi wanita muslimah mewalikan dirinya sendiri dengan izin walinya berpegang dengan mafhum hadits, “Mana-mana perempuan yang bernikah tanpa izin walinya…”. kesahihan aqad nikah oleh seseorang perawan atau janda adalah pendapat ‘Amir al-Sha`bi, Zufar, dan ulama Kufah. Mereka berpendapat wali bukan rukun sah nikah tapi hanya syarat tamam (kesempurnaan) nikah. Abu Yusuf, Muhammad ibn al-Hasan dan al-Awza`i mengatakan perkara ini sah dengan keizinan wali.
Hujah-hujah Mazhab al-Imam Abu Hanifah r.a.
1. Hadith wali dhaif (lemah)
al-Imam Abu Hanifah r.a. mengganggap hadiths wali ( larangan nikah tanpa wali) adalah dhaif (lemah) lalu tidak mewajibkan wali bagi seseorg muslimah baik perawan atau janda.
Al-Imam Muhammad ibn ‘Ali al-Shawkani dalam Nayl al-Awtar mengatakan bahawa hadits ini (larangan nikah tanpa wali) tidak sunyi dari pertikaian yaitu dari segi bersambung atau terputus sanad. Dua orang ulama besar dalam ilmu hadits yaitu Sufyan al-Thawri dan Shu`bah ibn al-Hajjaj mengatakan hadith ini mursal. Terdapat seorang perawi bernama Abu Ishaq al-Hamdani seorang yang thiqah tetapi mudallis seperti yang disebut oleh Ibn Hibban dalam al-Thiqat. Dalam riwayat al-Bayhaqi semua perawinya adalah thiqah tetapi hanya mawquf pada Abu Hurayrah.
Dalam riwayat Ahmad ibn Hanbal, Ibn Majah dan al-Tabarani terdapat seorang perawi bernama al-Hajjaj ibn Arta’ah seorang daif dan mudallis. Ibn Hanbal berkata hamper semua riwayatnya mempunyai ziyadah, Ibn al-Madini meninggalkannya. Abu Hatim al-Razi berkata beliau saduq tetapi mudallis dari du`afa’.
2. Hujah hadits sahih
Lantaran itu, al-Imam Abu Hanifah mengatakan bahawa wali tidak diambil secara mutlak (karena hadits – hadits wali tidak sahih) dan tidak perlu keizinan wali berdasarkan hadits sahih yang maknanya, “Wanita yang tidak bersuami itu (al-ayyim) lebih berhak terhadap dirinya dari walinya.” Riwayat al-Jama`ah kecuali al-Bukhari. Ayyim menurut bahasa ialah setiap wanita yg tidak bersuami baik ia perawan atau janda. Yakni dengan syarat ia mengawinkan dirinya dengan lelaki yang sekufu (sepadan).
Sekiranaya hadits-hadits wali adalah sahih, maka ia hanya khusus untuk wanita yg masih kecil belum baligh dan wanita gila. Adapun muslimah yg telah baligh ( dewasa) maka ia berhak mewalikan dirinya sendiri (haqq al-tasurruf). Beliau dan pengikutnya dari kalngan ulama hanfiyyah mentafsirkan hadits Tiada nikah melainkan dgn wali sebagai tidak sempurna nikah , bukan tidak sah nikah.
3. Zhahir ayat-ayat al-Quran
Al-Imam Abu Hanifah berhujah dgn zahir ayat2 al-Quran yg menyatakan perempuan itu menikahkan dirinya sendiri iaitu 230, 232 dan 234 surah al-Baqarah ;
230. kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.
232. apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.
234. orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
Abu Hanifah mengangggap zahir nas al-Quran itu amat kuat dan tidak boleh ditakhsis atau ditafsil oleh hadith al-Ahad. Beliau hanya menerima hadith mutawatir atau mashhur yang tidak dipertikaikan. Abu Hanifah menolak hadith al-Zuhri di atas karena apabila al-Zuhri ditanya tentang hadits tersebut beliau tidak mengetahuinya dan menafikan bahwa beliau meriwayatkannya. Dalam sanad hadith riwayat Ibn Majah pula ada seorang pendusta bernama Jamil ibn Hasan al-‘Ataki.
4. Hujah qiyas
Al-Imam Abu Hanifah dan Ulama al-Hanafiyyah juga berhujah dengan qiyas yaitu apabila wanita bebas dalam aqad jual beli dan aqad urusan-urusan lain, maka mereka juga bebas secara mutlak tentang aqad perkawinan mereka. Ini karena tiada perbedaan antara satu aqad dengan aqad yang lain. Mereka juga mengqiyaskan wanita dengan lelaki dalam mewalikan diri sendiri setelah aqil baligh. Menghalang wanita yg baligh dan aqil mengahwinkan diriny dgn mana2 lelkai yg sekufu adalah bersalaagn dgn prinsip2 Islam yg asas (qawa`id al-Islam al-‘ammah).
Al-Hafiz Ibn Abi Shaybah meriwayatkan dengan dua sanad yang sahih dari Zuhri dan Sha’bi tentang nikah tanpa wali, keduanya berkata, Sekiranya dengan lelaki sekufu ia adalah harus (sah).
Al-Imam Abu Thawr dan al-Awza`i mengatakan bahwa harus (boleh) bagi wanita muslimah mewalikan dirinya sendiri dengan izin walinya berpegang dengan mafhum (pemahaman) hadits, “Mana-mana perempuan yang bernikah tanpa izin walinya…”
kesahihan aqad nikah oleh seseorang perawan atau janda adalah pendapat ‘Amir al-Sha`bi, Zufar, dan ulama Kufah. Mereka berpendapat wali bukan rukun sah nikah tapi hanya syarat tamam (kesempurnaan) nikah. Abu Yusuf, Muhammad ibn al-Hasan dan al-Awza`i mengatakan perkara ini sah dengan keizinan wali.
NIKAH BERWALIKAN LELAKI SHALIH
Al-Imam Ibn Sirin
Al-Hafiz Ibn Hazm berkata telah sabit riwayatnya yang sahih dari Ibn Sirin, bahwa perempuan yang tidak mempunyai wali lalu menyerahkan kewaliannya kepada lelaki yang sholeh untuk mengaqadkannya maka ia adalah harus (sah). Berdasarkan ayat 55 dari al-Qur’an surah al-maidah ; Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).
Untuk sahnya pernikahan, para ulama telah merumuskan sekian banyak rukun dan atau syarat, yang mereka pahami dari ayat-ayat Al-Quran maupun hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. Adanya calon suami dan istri, wali, dua orang saksi, mahar serta terlaksananya ijab dan kabul merupakan rukun atau syarat yang rinciannya dapat berbeda antara seorang ulama/mazhab dengan mazhab 1ain; bukan di sini tempatnya untuk diuraikan.
Calon istri haruslah seorang yang tidak sedang terikat pernikahan dengan pria lain, atau tidak dalam keadaan ‘iddah (masa menunggu) baik karena wafat suaminya, atau dicerai, hamil, dan tentunya tidak pula termasuk mereka yang terlarang dinikahi, sebagaimana disebutkan di atas.
Abu Hanifah dan Abu Yusuf Berpendapat: “Sesungguhnya wanita yang sudah dewasa dan berakal sehat berhak mengurus sendiri `aqad pernikahannya, baik ia gadis maupun janda. Tetapi yang sebaiknya ia menguasakan `aqad nikahnya itu kepada walinya, demi menjaga pandangan yang kurang wajar, dari pihak pria asing, seandainya ia sendiri yang melangsungkan aqad nikahnya itu. Tetapi wali `ashib (ahli waris) tidaklah mempunyai hak untuk menghalang halanginya bila mana seorang wanita menikah dengan seorang pria dengan mahar yang kurang dari nilai mitsl (batas minimal).
Jika seorang wanita kawin dengan pria yang tidak sederajat tanpa persetujuan wali ‘ashibnya, menurut pendapat yang diriwayatkan dari Abu Hanifah dan Abu Y’usuf, pernikahan tersebut tidak sah. Pendapat ini cukup beralasan karena tidak setiap wali dapat mengadukan perkaranya kepada Hakim, dan tidak setiap Hakim dapat memutuskannya dengan adil.
Dalam keterangan lain disebutkan bahwa Abu Hanifah dan Abu Yusuf berpendapat Bahwa wali berhak menghalang-halangi perkawinan wanita dengan pria yang tidak sederajat dengan jalan permohonan kepada Pengadilan untuk membatalkannya. Dengan alasan untuk menjaga `aib yang kemungkinan timbul dari pihak suaminya selama belum melahirkan atau belum hamil. Jika ternyata sudah hamil atau melahirkan, maka gugurlah haknya untuk meminta pembatalan Pengadilan, demi menjaga kepentingan anak din memelihara kandungannya. Tetapi jika pihak prianya sederajat, sedangkan maharnya kurang dari mahar mitsl, dan jika wali mau menerima calon suami ini, maka perkawinannya boleh terus berlangsung. Sebaiknya, kalau ia menolak, yang bersangkutan boleh mengadu kepada Hakim untuk meminta pembatalan.
Seandainya dari pihak wanita tidak mempunyai wali `ashib (ahli waris) yaitu sama sekali tak mempunyai wali atau wali yang bukan wali `ashib, maka tak ada hak bagi seorangpun diantara mereka ini untuk menghalang-halangi aqad nikahnya, baik ia kawin dengan pria sederajat atau tidak, dengan mahar mitsl atau kurang. Sebab dalam keadaan demikian seluruh urusan dirinya menjadi tanggung jawabnya sendiri sepenuhnya. Seandainya tidak ada seorang wali yang merasa terkenal, karena perkawinannya dengan pria yang tidak sederajat itu dengan sendirinya mahar mitslnya menjadi gugur, sebab ia sudah terlepas dari wewenang wali-walinya.
Kesimpulannya ; Dalam Fikih Abu Hanifah terdapat Konsep Wali nikah (tidak wajib) yang kontradiktif dengan jumhur (kebanyakan) ulama fikih, yaitu “la yustararul waliyu fi sihhatin nikah al-balighah.” maksudnya adalah bolehnya nikah tanpa wali bagi wanita yang sudah dewasa (perawan atau janda), bahkan lebih lanjut dijelaskan bahwa seorang wanita dewasa boleh melakukan akad nikahnya sendiri tanpa perantara walinya. Adapun argumentasi yang diajukan oleh Abu Hanifah adalah:
1. Q.S. Al- Baqarah (2): 230; “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itutidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain….” Dan Q.S. Al- Baqarah (2): 234 yakni “…Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut…” Dalam ketiga ayat tersebut, akad dinisbahkan kepada perempuan, hal ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki hak melakukan pernikahan secara langsung (tanpa wali).
2. Perempuan bebas melakukan akad jual-beli dan akad-akad lainnya, karena itu ia bebas melakukan akad nikahnya. Karena tidak ada perbedaan hokum antara akad nikah dengan akad-akad lainnya.
3. Hadis-hadis yang mengaitkan sahnya perkawinan dengan ijin wali bersifat khusus, yaitu ketika sang perempuan yang akan menikahkan dirinya itu tidak memenuhi syarat untuk bertindak sendiri, misalnya karena masih belum dewasa atau tidak memiliki akal sehat. Hal ini berdasarkan Hadits Nabi Muhammad SAW : ”Orang-orang yang tidak mempunyai jodoh lebih berhak atas perkawinan dirinya daripada walinya, dan gadis itu dimintakan persetujuannya untuk dinikahkan dan tanda ijinnya ialah diamnya” (Hadits Bukhari Muslim).
Penutup
Dari dua pendapat, di atas mana yang benar? Tentunya seseorang tidak bisa mengklaim dan memvonis pendapat ini paling benar, atau pendapat itu salah (bathil). Sebab kesemuanya itu merupakan bentuk ijtihad ulama mazhab (Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal) dikalangan ahlussunnah wal jama’ah, yang kita boleh mengambil dan memilih mana yang cocok dan diyakini oleh kita. Sebab kebenaran mutlak hanya datangnya dari Allah dan Rasul-Nya saja. ( Wallahu A’lam bish-Showab)
*) tulisan ini diambil dari berbagai sumber oleh Alianoor H.Asmuni Basri (Penyuluh Agama Islam Fungsional Kandepag Barito Utara).
Hukum Nikah Tanpa Wali, Sahkah ?
Keberadaan wali dalam suatu pernikahan merupakan perkara khilafiyah ( berbeda pendapat ) dikalangan para ulama mazhab, artinya seorang muslim boleh dan tidak tercela mengambil atau berpegang kepada salah satu dari dua pendapat tersebut tanpa saling menyalahkan, tentunya dengan landasan ilmu dan pemahaman bukan sekedar ikut-ikutan ;
1. Jumhur (mayoritas-kebanyakan) ulama mazhab menyatakan bahwa wali dalam pernikahan adalah rukun nikah. Artinya tidak sah nikah tanpa wali. Berdasarkan beberapa hadits ; Dari Abu Burdah, dari Abu Musa dari ayahnya –radliyallâhu ‘anhuma-, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan wali.” Dalam hadits lain ; Dari ‘Imran bin al-Hushain secara marfu’ : “Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi.” Dan dari ‘Aisyah radliyallâhu ‘anha, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Siapa saja wanita yang menikah tanpa idzin walinya, maka pernikahannya batil; jika dia (suami) sudah berhubungan badan dengannya, maka dia berhak mendapatkan mahar sebagai imbalan dari dihalalkannya farajnya; dan jika mereka berselisih, maka sultan (penguasa/hakim dan yang mewakilinya-red.,) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.”
Hadits pertama dari kajian ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan empat Imam hadits, pengarang kitab-kitab as-Sunan (an-Nasaiy, at-Turmudziy, Abu Daud dan Ibn Majah). Hadits tersebut dinilai shahîh oleh Ibn al-Madiniy dan at-Turmudziy serta Ibn Hibban yang menganggapnya memiliki ‘illat (cacat), yaitu al-Irsal (terputusnya mata rantai jalur transmisinya setelah seorang dari Tabi’in, seperti bila seorang Tab’iy berkata, “Rasulullah bersabda, demikian…”).
Hadits kedua dari kajian ini diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dari al-Hasan dari ‘Imran bin al-Hushain secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah). Menurut Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassam, kualitas hadits ini adalah Shahîh dan dikeluarkan oleh Abu Daud, at-Turmudziy, ath-Thahawiy, Ibn Hibban, ad-Daruquthniy, al-Hâkim, al-Baihaqiy dan selain mereka. Hadits ini juga dinilai shahîh oleh Ibn al-Madiniy, Ahmad, Ibn Ma’in, at-Turmudziy, adz-Dzuhliy, Ibn Hibban dan al-Hâkim serta disetujui oleh Imam adz-Dzahabiy.
Sedangkan hadits yang ketiga dari kajian ini, kualitasnya adalah Hasan. Hadits tersebut dikeluarkan oleh Imam Ahmad, asy-Syafi’iy, Abu Daud, at-Turmudziy, Ibn Majah, ad-Daruquthniy, al-Hâkim dan al-Baihaqiy serta selain mereka dari jalur yang banyak sekali melalui Ibn Juraij dari Sulaiman bin Musa dari az-Zuhriy dari ‘Urwah dari ‘Aisyah. Rijâl (Para periwayat dalam mata rantai periwayatan) tersebut semuanya Tsiqât dan termasuk Rijâl Imam Muslim.
2. Sebagian Ulama menyatakan bahwa wali tidak menjadi syarat atau rukun sebuah pernikahan. Artinya pernikahan dianggap sah walau tanpa wali apabila wanita yang akan menikah tersebut sudah dewasa ( janda atau perawan ). Dan Pendapat ini dipegang oleh Imam Abu Hanifah.
Al-Imam Muhammad ibn ‘Ali al-Shawkani dalam Nayl al-Awtar mengatakan bahwa hadits ini ( Larangan nikah tanpa wali ) tidak sunyi dari pertikaian yaitu dari segi bersambung atau terputus sanad.
Dua orang ulama besar dalam ilmu hadits yaitu Sufyan al-Thawri dan Shu`bah ibn al-Hajjaj mengatakan hadith ini mursal. Terdapat seorang perawi bernama Abu Ishaq al-Hamdani seorang yang thiqah tetapi mudallis seperti yang disebut oleh Ibn Hibban dalam al-Thiqat. Dalam riwayat al-Bayhaqi semua perawinya adalah thiqah tetapi hanya mawquf pada Abu Hurayrah.
Dalam riwayat Ahmad ibn Hanbal, Ibn Majah dan al-Tabarani terdapat seorang perawi bernama al-Hajjaj ibn Arta’ah seorang daif dan mudallis. Ibn Hanbl berkat hamper semua riwaytanya mempunyai ziyadah, Ibn al-Madini meninggalkannya. Abu Htaim al-Razi berkata beliau saduq tetapi yudallis dari du`afa’.
Lantaran itu, al-Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa wali tidak diambil secara mutlak dan tidak perlu keizinan wali berdasarkan hadits sahih yang artinya, “Wanita yang tidak bersuami itu (al-ayyim) lebih berhak terhadap dirinya dari walinya.” Riwayat al-Jama`ah kecuali al-Bukhari. Yakni dengan syarat ia mengawinkan dirinya dengan lelaki yg sekufu.
Abu Hanifah menangggap zahir nas al-Quran itu amat kuat dan tidak boleh ditakhsis atau ditafsil oleh hadith al-Ahad. Beliau hanya menerima hadith mutawatir atau mashhur yang tidak dipertikaikan. Abu Hanifah menolak hadith al-Zuhri di atas karena apabila al-Zuhri ditanya tentang hadits tersebut beliau tidak mengetahuinya dan menafikan bahwa beliau meriwayatkannya. Dalam sanad hadits riwayat Ibn Majah pula ada seorang pendusta bernama Jamil ibn Hasan al-‘Ataki.
Abu Hanifah dan al-Hanafiyyah juga berhujah dengan qiyas iaitu apabila wanita bebas dalam aqad jual beli dan urusan-urusan lain, maka mereka juga bebas tentang aqad perkawinan mereka. Ini karena tiada perbedaan antara satu aqad dengan aqad yang lain. Mereka juga mengqiyaskan wanita dengan lelaki dalam mewalikan diri sendiri setelah aqil baligh.
Al-Imam Malik ibn Anas
Malik ibn Anas membenarkan wanita yang tidak cantik, tidak berharta, tidak berketurunan mulia untuk nikah tanpa wali. Dawud al-Zahiri mengharuskan nikah tanpa wali bagi janda dan mensyaratkan wali bagi wanita perawan.
Al-Imam al-Shafii
Yunus ibn ‘Abd al-A`la mengatakan bahwa al-Imam al-Shafi`i sendiri mengatakan bahwa sekiranya seorang wanita dalam musafir dan ketiadaan wali, lalu ia tahkim yaitu menyerahkan perkawinannya kepada seorang lelaki, maka itu adalah harus (boleh). al-Nawawi menyokong perkara itu dengan syarat lelaki itu mesti adil. al-Nawawi mengatakan bahawa Yunus seorang yang thiqah.
Shaykh ‘Abd al-Rahman al-Jaziri seorang faqih terkemuka al-Azhar mengatakan bahawa kedua-dua bentuk pernikahan adalah sah, amat perlu dalam masyarakat Islam dan beliau menyokong hujah-hujah Hanafiyyah. Beliau berpendapat bahawa perkara ini menunjukkan kekekalan, kesyumulan dan kesesuaian Islam untuk menyelesaikan masalah masyarakat pada setiap masa dan tempat sehingga tidak ada seorang pun yang teraniaya. Kedua-dua pendapat adalah bagus, boleh diamalkan dan diterima akal. Menurut beliau, apabila aqad mengikut mazhab jumhur terhalang karena sesuatu sebab, umat Islam perlu menggunakan pendapat yang kedua (Pendapat Abu Hanifah) dan hal tersebut tidak tercela.
Mazhab al-Imam Abu Thawr dan al-Awza`i
Abu Thawr dan al-Awza`i mengatakan bahwa harus (boleh) bagi wanita muslimah mewalikan dirinya sendiri dengan izin walinya berpegang dengan mafhum hadits, “Mana-mana perempuan yang bernikah tanpa izin walinya…”. kesahihan aqad nikah oleh seseorang perawan atau janda adalah pendapat ‘Amir al-Sha`bi, Zufar, dan ulama Kufah. Mereka berpendapat wali bukan rukun sah nikah tapi hanya syarat tamam (kesempurnaan) nikah. Abu Yusuf, Muhammad ibn al-Hasan dan al-Awza`i mengatakan perkara ini sah dengan keizinan wali.
Hujah-hujah Mazhab al-Imam Abu Hanifah r.a.
1. Hadith wali dhaif (lemah)
al-Imam Abu Hanifah r.a. mengganggap hadiths wali ( larangan nikah tanpa wali) adalah dhaif (lemah) lalu tidak mewajibkan wali bagi seseorg muslimah baik perawan atau janda.
Al-Imam Muhammad ibn ‘Ali al-Shawkani dalam Nayl al-Awtar mengatakan bahawa hadits ini (larangan nikah tanpa wali) tidak sunyi dari pertikaian yaitu dari segi bersambung atau terputus sanad. Dua orang ulama besar dalam ilmu hadits yaitu Sufyan al-Thawri dan Shu`bah ibn al-Hajjaj mengatakan hadith ini mursal. Terdapat seorang perawi bernama Abu Ishaq al-Hamdani seorang yang thiqah tetapi mudallis seperti yang disebut oleh Ibn Hibban dalam al-Thiqat. Dalam riwayat al-Bayhaqi semua perawinya adalah thiqah tetapi hanya mawquf pada Abu Hurayrah.
Dalam riwayat Ahmad ibn Hanbal, Ibn Majah dan al-Tabarani terdapat seorang perawi bernama al-Hajjaj ibn Arta’ah seorang daif dan mudallis. Ibn Hanbal berkata hamper semua riwayatnya mempunyai ziyadah, Ibn al-Madini meninggalkannya. Abu Hatim al-Razi berkata beliau saduq tetapi mudallis dari du`afa’.
2. Hujah hadits sahih
Lantaran itu, al-Imam Abu Hanifah mengatakan bahawa wali tidak diambil secara mutlak (karena hadits – hadits wali tidak sahih) dan tidak perlu keizinan wali berdasarkan hadits sahih yang maknanya, “Wanita yang tidak bersuami itu (al-ayyim) lebih berhak terhadap dirinya dari walinya.” Riwayat al-Jama`ah kecuali al-Bukhari. Ayyim menurut bahasa ialah setiap wanita yg tidak bersuami baik ia perawan atau janda. Yakni dengan syarat ia mengawinkan dirinya dengan lelaki yang sekufu (sepadan).
Sekiranaya hadits-hadits wali adalah sahih, maka ia hanya khusus untuk wanita yg masih kecil belum baligh dan wanita gila. Adapun muslimah yg telah baligh ( dewasa) maka ia berhak mewalikan dirinya sendiri (haqq al-tasurruf). Beliau dan pengikutnya dari kalngan ulama hanfiyyah mentafsirkan hadits Tiada nikah melainkan dgn wali sebagai tidak sempurna nikah , bukan tidak sah nikah.
3. Zhahir ayat-ayat al-Quran
Al-Imam Abu Hanifah berhujah dgn zahir ayat2 al-Quran yg menyatakan perempuan itu menikahkan dirinya sendiri iaitu 230, 232 dan 234 surah al-Baqarah ;
230. kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.
232. apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.
234. orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
Abu Hanifah mengangggap zahir nas al-Quran itu amat kuat dan tidak boleh ditakhsis atau ditafsil oleh hadith al-Ahad. Beliau hanya menerima hadith mutawatir atau mashhur yang tidak dipertikaikan. Abu Hanifah menolak hadith al-Zuhri di atas karena apabila al-Zuhri ditanya tentang hadits tersebut beliau tidak mengetahuinya dan menafikan bahwa beliau meriwayatkannya. Dalam sanad hadith riwayat Ibn Majah pula ada seorang pendusta bernama Jamil ibn Hasan al-‘Ataki.
4. Hujah qiyas
Al-Imam Abu Hanifah dan Ulama al-Hanafiyyah juga berhujah dengan qiyas yaitu apabila wanita bebas dalam aqad jual beli dan aqad urusan-urusan lain, maka mereka juga bebas secara mutlak tentang aqad perkawinan mereka. Ini karena tiada perbedaan antara satu aqad dengan aqad yang lain. Mereka juga mengqiyaskan wanita dengan lelaki dalam mewalikan diri sendiri setelah aqil baligh. Menghalang wanita yg baligh dan aqil mengahwinkan diriny dgn mana2 lelkai yg sekufu adalah bersalaagn dgn prinsip2 Islam yg asas (qawa`id al-Islam al-‘ammah).
Al-Hafiz Ibn Abi Shaybah meriwayatkan dengan dua sanad yang sahih dari Zuhri dan Sha’bi tentang nikah tanpa wali, keduanya berkata, Sekiranya dengan lelaki sekufu ia adalah harus (sah).
Al-Imam Abu Thawr dan al-Awza`i mengatakan bahwa harus (boleh) bagi wanita muslimah mewalikan dirinya sendiri dengan izin walinya berpegang dengan mafhum (pemahaman) hadits, “Mana-mana perempuan yang bernikah tanpa izin walinya…”
kesahihan aqad nikah oleh seseorang perawan atau janda adalah pendapat ‘Amir al-Sha`bi, Zufar, dan ulama Kufah. Mereka berpendapat wali bukan rukun sah nikah tapi hanya syarat tamam (kesempurnaan) nikah. Abu Yusuf, Muhammad ibn al-Hasan dan al-Awza`i mengatakan perkara ini sah dengan keizinan wali.
NIKAH BERWALIKAN LELAKI SHALIH
Al-Imam Ibn Sirin
Al-Hafiz Ibn Hazm berkata telah sabit riwayatnya yang sahih dari Ibn Sirin, bahwa perempuan yang tidak mempunyai wali lalu menyerahkan kewaliannya kepada lelaki yang sholeh untuk mengaqadkannya maka ia adalah harus (sah). Berdasarkan ayat 55 dari al-Qur’an surah al-maidah ; Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).
Untuk sahnya pernikahan, para ulama telah merumuskan sekian banyak rukun dan atau syarat, yang mereka pahami dari ayat-ayat Al-Quran maupun hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. Adanya calon suami dan istri, wali, dua orang saksi, mahar serta terlaksananya ijab dan kabul merupakan rukun atau syarat yang rinciannya dapat berbeda antara seorang ulama/mazhab dengan mazhab 1ain; bukan di sini tempatnya untuk diuraikan.
Calon istri haruslah seorang yang tidak sedang terikat pernikahan dengan pria lain, atau tidak dalam keadaan ‘iddah (masa menunggu) baik karena wafat suaminya, atau dicerai, hamil, dan tentunya tidak pula termasuk mereka yang terlarang dinikahi, sebagaimana disebutkan di atas.
Abu Hanifah dan Abu Yusuf Berpendapat: “Sesungguhnya wanita yang sudah dewasa dan berakal sehat berhak mengurus sendiri `aqad pernikahannya, baik ia gadis maupun janda. Tetapi yang sebaiknya ia menguasakan `aqad nikahnya itu kepada walinya, demi menjaga pandangan yang kurang wajar, dari pihak pria asing, seandainya ia sendiri yang melangsungkan aqad nikahnya itu. Tetapi wali `ashib (ahli waris) tidaklah mempunyai hak untuk menghalang halanginya bila mana seorang wanita menikah dengan seorang pria dengan mahar yang kurang dari nilai mitsl (batas minimal).
Jika seorang wanita kawin dengan pria yang tidak sederajat tanpa persetujuan wali ‘ashibnya, menurut pendapat yang diriwayatkan dari Abu Hanifah dan Abu Y’usuf, pernikahan tersebut tidak sah. Pendapat ini cukup beralasan karena tidak setiap wali dapat mengadukan perkaranya kepada Hakim, dan tidak setiap Hakim dapat memutuskannya dengan adil.
Dalam keterangan lain disebutkan bahwa Abu Hanifah dan Abu Yusuf berpendapat Bahwa wali berhak menghalang-halangi perkawinan wanita dengan pria yang tidak sederajat dengan jalan permohonan kepada Pengadilan untuk membatalkannya. Dengan alasan untuk menjaga `aib yang kemungkinan timbul dari pihak suaminya selama belum melahirkan atau belum hamil. Jika ternyata sudah hamil atau melahirkan, maka gugurlah haknya untuk meminta pembatalan Pengadilan, demi menjaga kepentingan anak din memelihara kandungannya. Tetapi jika pihak prianya sederajat, sedangkan maharnya kurang dari mahar mitsl, dan jika wali mau menerima calon suami ini, maka perkawinannya boleh terus berlangsung. Sebaiknya, kalau ia menolak, yang bersangkutan boleh mengadu kepada Hakim untuk meminta pembatalan.
Seandainya dari pihak wanita tidak mempunyai wali `ashib (ahli waris) yaitu sama sekali tak mempunyai wali atau wali yang bukan wali `ashib, maka tak ada hak bagi seorangpun diantara mereka ini untuk menghalang-halangi aqad nikahnya, baik ia kawin dengan pria sederajat atau tidak, dengan mahar mitsl atau kurang. Sebab dalam keadaan demikian seluruh urusan dirinya menjadi tanggung jawabnya sendiri sepenuhnya. Seandainya tidak ada seorang wali yang merasa terkenal, karena perkawinannya dengan pria yang tidak sederajat itu dengan sendirinya mahar mitslnya menjadi gugur, sebab ia sudah terlepas dari wewenang wali-walinya.
Kesimpulannya ; Dalam Fikih Abu Hanifah terdapat Konsep Wali nikah (tidak wajib) yang kontradiktif dengan jumhur (kebanyakan) ulama fikih, yaitu “la yustararul waliyu fi sihhatin nikah al-balighah.” maksudnya adalah bolehnya nikah tanpa wali bagi wanita yang sudah dewasa (perawan atau janda), bahkan lebih lanjut dijelaskan bahwa seorang wanita dewasa boleh melakukan akad nikahnya sendiri tanpa perantara walinya. Adapun argumentasi yang diajukan oleh Abu Hanifah adalah:
1. Q.S. Al- Baqarah (2): 230; “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itutidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain….” Dan Q.S. Al- Baqarah (2): 234 yakni “…Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut…” Dalam ketiga ayat tersebut, akad dinisbahkan kepada perempuan, hal ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki hak melakukan pernikahan secara langsung (tanpa wali).
2. Perempuan bebas melakukan akad jual-beli dan akad-akad lainnya, karena itu ia bebas melakukan akad nikahnya. Karena tidak ada perbedaan hokum antara akad nikah dengan akad-akad lainnya.
3. Hadis-hadis yang mengaitkan sahnya perkawinan dengan ijin wali bersifat khusus, yaitu ketika sang perempuan yang akan menikahkan dirinya itu tidak memenuhi syarat untuk bertindak sendiri, misalnya karena masih belum dewasa atau tidak memiliki akal sehat. Hal ini berdasarkan Hadits Nabi Muhammad SAW : ”Orang-orang yang tidak mempunyai jodoh lebih berhak atas perkawinan dirinya daripada walinya, dan gadis itu dimintakan persetujuannya untuk dinikahkan dan tanda ijinnya ialah diamnya” (Hadits Bukhari Muslim).
Penutup
Dari dua pendapat, di atas mana yang benar? Tentunya seseorang tidak bisa mengklaim dan memvonis pendapat ini paling benar, atau pendapat itu salah (bathil). Sebab kesemuanya itu merupakan bentuk ijtihad ulama mazhab (Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal) dikalangan ahlussunnah wal jama’ah, yang kita boleh mengambil dan memilih mana yang cocok dan diyakini oleh kita. Sebab kebenaran mutlak hanya datangnya dari Allah dan Rasul-Nya saja. ( Wallahu A’lam bish-Showab)
*) tulisan ini diambil dari berbagai sumber oleh Alianoor H.Asmuni Basri (Penyuluh Agama Islam Fungsional Kandepag Barito Utara).
Label:
Artikel